Memaknai Kerelawanan

Sumber Foto : Salah satu subjek dalam foto tersebut

Ketika mendapat informasi dari linimasa media sosial dari seorang kawan, bahwa Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) mengadakan pelatihan untuk relawan penanggulangan wabah Covid-19, tentu yang terlintas pertama dalam benak adalah sebuah kekaguman. Sebuah kampus teknologi yang tidak memiliki jurusan sosial ternyata membuktikan diri bahwa Kemanusiaan tak mengenal SARA, apalagi sekedar bidang keilmuan. Mungkin kemanusiaan baru akan terbentur ketika kita membicarakannya dengan para Romulan atau Klingon. Nah, berbicara kemanusiaan tentunya kita tidak akan jauh dari relawan, nyaris tidak ada sebuah cause kemanusiaan yang tidak melibatkan relawan. Secara umum sukarelawan yang biasa disebut relawan dapat diartikan sebagai orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela/rela. Ada sebuah pemaknaan lain dari relawan, yaitu gabungan dari kata rela dan dermawan, banyak cerita yang sudah membuktikan pemaknaan ini, salah satunya adalah kisah seorang kawan sealmamater berikut ini.

Kalau Bapak Dahlan Iskan menyematkan istilah “Milennial Nakal” untuk menyebut seorang Ahmad Alghozi, maka julukan paling tepat untuk kawan ini adalah “Gen-x Gendeng” (GG). Mengapa begitu? karena secara usia dia termasuk Gen-x, dan “Gendeng” (Baca:Gila) adalah ungkapan yang selalu terlontar dari mulut orang awam saat mendengar kisahnya. Kita kembali ke tahun 2004 silam, saat bencana tsunami di Aceh terjadi. Bencana yang meluluhlantakkan serambi mekah itu menggugah ghiroh para relawan dari seluruh dunia, termasuk relawan lokal seperti Bang GG ini.

Meskipun bukan mahasiswa sosial, jiwa sosialnya sangat terpanggil. Saat itu dia sudah bekerja selama beberapa tahun dengan posisi dan penghasilan yang sangat di atas rata-rata. Ketika orang-orang kebanyakan pada posisinya akan mendonasikan hartanya besar-besaran, dia melakukan hal yang melampaui semua itu. GG mengundurkan diri, melepaskan semua penghasilan dan posisi yang dibangunnya bertahun-tahun, menguras tabungannya, dan menggunakannya untuk membiayai keberangkatannya dengan beberapa kawannya ke ground zero Aceh.

Sekembalinya dari Aceh, saat teman-teman seusianya sudah menikmati posisi dari bekerja selama bertahun-tahun, GG harus memulai semuanya kembali dari nol. Hasil tak pernah menghianati usaha, sekarang dia sudah bekerja kembali di salah satu BUMN terkemuka, menempati posisi yang cukup strategis, baik di dalam maupun di organisasi lain tempatnya berkecimpung. Dan yang paling mengagumkan, passion-nya terhadap aktivitas-aktivitas kebencanaan masih tetap tinggi. Partisipasinya dalam kegiatan-kegiatan fund raising untuk donasi kemanusiaan terus berjalan hingga kini, meskipun tak sedahsyat 2004 silam, tentunya karena sekarang dia telah berkeluarga dan memiliki banyak tanggung jawab lain selain dirinya sendiri.

Demikianlah sejatinya seorang relawan, rela dan dermawan seperti diuraikan pada pembuka tulisan ini. Rela menghadapi kesulitan, tantangan, maupun cibiran, sekaligus dermawan dengan menyumbangkan harta maupun tenaganya. Sebuah feat yang jarang kita temukan, bukan karena nilai yang diberikan, tapi karena nilai yang dikorbankan.  Semoga saja orang-orang seperti bang GG ini tidak punah dan terus muncul setiap pergantian generasi. Karena sesungguhnya kegiatan kemanusiaan yang sejati tidak akan pernah lepas dari dukungan para relawan.

This entry was posted in Celoteh, sehari-hari and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s