Bunda Keresahan

Tak pernah aku menyesali yang kupunya, tapi kusadari ada lubang dalam hati

Lubang Dalam Hati, Letto

Sepenggal lirik dari band Letto tersebut memang cukup mengena. Meskipun tidak memahami apa sebenarnya yang dimaksud oleh sang pengarang lagu tersebut, dan meskipun lagu itu menjadi soundtrack sebuah sinetron percintaan, entah kenapa lagu tersebut lebih terenungi sebagai sebuah keresahan dalam perjalanan hidup. Keresahan, sebuah kemewahan yang masih bisa dirasakan bahkan di tengah hegemoni sapuan kehidupan. Dari rahim keresahan terlahir banyak sekali produk dan masterpiece mulai dari ideologi sampai dengan teknologi. Keresahanlah, apapun motif dan arahnya, yang mengantarkan peradaban ini terus bergulir.

Disadur dari Buku “Visi dan Strategi ITS Menghadapi Tahun 2020”

Resah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “gelisah; tidak tenang; gugup; rusuh hati”. Pemicu dari ketidak tenangan dan kegelisahan ini sangat bervariasi. Sebagian besar tokoh-tokoh besar di dunia ini memulai perjalanannya dari sebuah keresahan. Dr Angka Nitisastro, pendiri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, memulai niatnya mendirikan kampus terbesar di Indonesia Timur itu bersama Ir Soendjasmono karena keresahannya melihat nasib nelayan. Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA tidak bisa melalui malam-malamnya dengan tenang dan memilih jalan berkeliling karena resah dengan nasib umat di bawah kepemimpinannya. Bahkan sang Nabi Besar Muhammad S.A.W juga memulai upayanya menyepi ke gua Hira, yang menjadi awal kenabiannya, karena resah melihat perilaku jahiliyah umatnya.

Orang-orang yang berusaha menyelesaikan keresahannya memang akan terlihat aneh. ROI, Capex, Opex, dan segala hitungan duniawi lainnya tidak akan bisa menjelaskan apa yang sebenarnya mendorong mereka untuk terus berjalan. Hal ini karena memang pada dasarnya motivasi-motivasi menyelesaikan keresahan bukanlah hal-hal yang berhubungan dengan materi. Masing-masing orang bisa jadi memiliki motivasi yang sama, dan sangat bisa berbeda. Sebuah output yang sama bisa jadi berangkat dari keresahan yang berbeda. Orang-orang yang menjadi relawan bencana misalnya, bisa jadi ada yang resah melihat nasib para korban bencana dan ingin membantu karena ingin menuntaskan penghambaannya pada sang pencipta, atau ada juga yang sekedar menjalankan prinsipnya untuk mencintai sesama manusia.

Keresahan dapat lahir dari banyak hal. Paparan dan kontaminasi terus menerus terhadap situasi yang menggelitik nilai-nilai dan/atau rasa nyaman seseorang akan memicu ketidaknyamanan yang dapat menjadi lubang dalam hati. Lubang dalam hati itulah yang akan membuatnya resah dan tidak nyaman. Orang yang resah, secara natural akan memiliki keinginan untuk melenyapkan keresahannya. Meskipun demikian, apakah keinginan itu akan menjadi tindakan nyata atau tidak, sangat bergantung pada seberapa kuat motifnya. Menunaikan sebuah perjanjian kerja janji misalnya, mereka yang janjinya belum tunai akan resah dan mengambil langkah-langkah untuk menunaikannya dengan macam-macam motif. Ada yang sekedar ingin memuaskan nurani bahwa dia adalah orang yang jujur. Ada lagi yang melakukannya karena tidak ingin bermasalah karena dilaporkan melakukan wanprestasi. Ada juga yang motifnya lebih jauh dan filosofis seperti keinginannya untuk menyucikan harta agar hartanya yang dimakan diri sendiri dan keluarganya tidak terkontaminasi hal-hal yang syubhat.

Saat motif dan kenyataan bertemu, barulah rincian tagihan pengorbanan akan muncul. Melenyapkan keresahan tentu tidak sesederhana masuk ke warung, pesan kopi, kasbon membayar, kemudian selesai. Akan ada pengorbanan, yang umumnya berbanding lurus dengan tingkat keresahan yang akan dihadapi. Tak terhitung sudah pengorbanan yang diberikan oleh tokoh-tokoh besar dunia ini untuk sebuah penuntasan keresahan yang tidak kalah besarnya. Pengorbanan ini mulai dari waktu, harta, fisik, sampai ketenangan hidup menghadapi teror. Apa yang dihadapi Soe Hok Gie, Nelson Mandela, sampai Prita Mulyasari adalah akibat upaya mereka menutup lubang dalam hatinya, akibat dari keinginan melakukan atau menyampaikan apa yang mereka yakini benar.

Semakin kuat motif seseorang, akan semakin besar toleransi pengorbanan yang sanggup dia berikan. Seorang kepala keluarga yang begitu ingin melihat senyum anaknya saat menikmati setiap suapan makanan, melihat senyum anaknya ketika lulus sekolah, bahkan senyum bahagianya saat menikah kelak, tentunya seharusnya tidak akan berhitung dengan rasa lelah di pundaknya. Seorang Ibu yang ingin segera mendengar tangisan pertama putranya tentunya tidak akan mengalah pada rasa sakitnya melahirkan yang nyawa taruhannya. Orang tua yang ingin anaknya bangga padanya, bukan sebaliknya, tentunya akan berusaha menuntaskan keresahan-keresahan hatinya untuk mengajarkan pentingnya memiliki prinsip kepada anaknya. Seringnya, bagi manusia biasa-biasa seperti Saya atau sebagian orang lain, mencari motif ini sulit dan menjadi sebuah proses panjang tersendiri, tapi hidup akan terus berjalan, apakah melalui hidup tenggelam dalam keresahan atau jatuh bangun untuk melawan keresahan itu tentunya pilihan kita masing-masing.

Kuteruskan, perjalanan panjang yang begitu melelahkan, dan kuyakin Kau tak ingin aku berhenti

Lubang Dalam Hati, Letto

This entry was posted in Celoteh, sehari-hari and tagged , . Bookmark the permalink.

1 Response to Bunda Keresahan

  1. Pingback: Keresahan Buatan (Artificial Restlessness) | emaerdei

Leave a comment