Aku mencintaimu karena Allah
Ungkapan di atas juga sering digunakan dalam bahasa Arab populernya “ana uhibbuki fillah“. Saya pertama kali mengetahui istilah ini, dalam bahasa arabnya, sewaktu SMA. Bukan, bukan karena ada yang mengatakannya pada saya :D, kebetulan tahu saja. Saat itu saya sama sekali tidak tahu artinya dalam bahasa Indonesia. Sewaktu kuliah barulah saya mengetahui artinya dari kakak-kakak rohis yang ada di kampus. Dan saya heran bin kagum saat mengingat bahwa kata-kata itu digunakan oleh anak-anak SMA, mengingat beratnya beban dari ungkapan sederhana itu.
Kata-kata ini bisa diucapkan pada lawan jenis maupun sesama jenis, iya sesama jenis, karena cinta di sini maknanya luas. Saya tekankan pada “bisa” bukan berarti boleh, karena pembahasan mengenai boleh tidaknya maupun syarat-syaratnya sudah banyak dibahas oleh yang (mestinya) lebih ahli dan (seharusnya) lebih kompeten sehingga saya tidak mau berpanjang lebar bicara tentang boleh tidaknya menggunakan ungkapan ini, saya hanya ingin mendiskusikan mengenai pemaknaan terhadap kalimat tersebut.
Bagi saya, ada dua cara untuk memaknai sebuah ungkapan “mencintai karena Allah”. Yang pertama dan paling populer adalah mencintai seseorang (sekali lagi, ini bisa berarti cinta maupun “cinta”) bukan karena nafsu atau alasan duniawi melainkan karena alasan-alasan yang dicintai Allah. Sulit dicerna? Iya sama saya juga agak bingung :D. Lebih gampang memakai contoh saja. Misalnya kita memilih mencintai atau berteman dengan seseorang bukan karena dia ganteng, kaya, ataupun pandai bicara. Kita memilihnya karena dia rajin beribadah, berakhlak baik, dan sebagainya. Kalaupun kemudian itu semua diimbuhi dengan kegantengan/kecantikan dan kekayaan ya anggap saja bonus.
Mudah bukan? Mudah dikatakan memang, tapi cobalah kita jujur pada diri sendiri, apa yang menjadi alasan kita selama ini memilih teman maupun pasangan hidup maupun calon pasangan hidup? Benarkah alasan-alasan duniawi itu nomor tiga belas? Yakin? Kalau iya, selamat deh anda memang layak dapat bintang š
Adapun pemaknaan yang ke-dua, jauh lebih sulit dilakukan dari yang pertama. Yaitu mencintai (iya mencintai, bukan melulu asmara) seseorang karena posisinya yang sama sebagai makhluk ciptaan Allah. Meskipun ada banyak alasan untuk kebanyakan orang tidak menyukainya, meskipun tidak ada alasan bagi kebanyakan orang untuk menyukainya, kita tetap mencintainya karena dia adalah sesama makhluk Allah. Alasan-alasan itu bisa saja karena dia seorang pemabuk, tidak kaya, badannya bau karena jarang mandi, dsb. Siapa tahu, dengan kita tetap baik padanya, perlahan-lahan maupun mendadak hidayah bisa sampai padanya, sesuatu yang lebih sulit dicapai dengan mengumbar kebencian :D.
Yang jelas, dua pemaknaan di atas berangkat dari alasan yang sama bahwa Allah lah yang maha kuasa dan maha membolak-balikkan hati. Pada akhirnya semuanya akan kembali kepada kita, seberapa beranikah kita mencintai karena Allah?. Kalimat itu mudah diucapkan, namun berat dalam makna. Karena itu, seumur hidup saya sangat berhati-hati sekali dalam mengucapkannya, bukan diobral sembarangan. Sungguh luar biasa orang yang bisa mengobral kalimat ini (pada objek yang memang diperbolehkan) dan menepatinya dari hati :).