“Nankai!”, panggilan Sheryn menyadarkannya dari lamunan. “akhirnya datang juga”, gumam Nankai melihat Sheryn dan Ferdinand berjalan ke arahnya dari pelataran parkir warung kopi sundries, warung kopi semasa mereka kuliah dulu yang pemiliknya baru naik haji yang keempat kalinya beberapa bulan lalu. “es kuning Mak”, kata Sheryn sambil duduk di sebelah Nankai. “Aku es milo”, sahut Ferdinand tidak mau kalah. “Awas loh ya, harganya sekarang naik, kalo duitmu kurang gak pake ngutang-ngutang ke aku”, ancam Nankai. Mereka bertiga segera larut dalam obrolan riang, maklum, sudah 6 tahun lebih mereka tidak bertemu pasca lulus dari ILD.
“Eh inget pak Mirvay? dia sekarang sudah gak jadi PR loh, sudah balik jadi dosen biasa lagi”, celetuk Sheryn. Nankai menerawang, mengingat-ingat masa suramnya bersama Mirvay dan kroni-kroninya. Masa gelap yang harus dia hadapi karena terjebak membantu si Bamz melakukan kesalahan fatal. “Mana mungkin lupa, hahaha omong-omong kabarnya Anna Tsuchiya gimana ya? akhirnya sudah bisa ambil ijazahnya kah dia?”. “Sudah, sekarang dia malah kerja di Sing Ngapur atau Sing Mlitur gitu deh, lupa aku tepatnya dimana”, jawab Ferdinand. Demikianlah nostalgia demi nostalgia mengalir hangat dari bibir mereka, tak terasa Vidul, anak pemilik warkop Sundries yang menjadi satpam di ILD sudah mau berangkat shift sore.
“Bai De Wei, gimana kabar kalian? kerja dimana sekarang?” tanya nankai tiba-tiba. Sambil berpandang-pandangan mereke serempak menggelengkan kepala sambil senyum-senyum. “Ya, masih palugada gitu lah, apa lu mau gue ada”, jawab Ferdinand. “Kalian gak minat kerja beneran? aku ada pekerjaan yang cocok buat kalian”, “Aduh, kenapa gaya-gayamu kok sudah seperti agen MLM gitu, awas loh ya kalau berani mrospek aku”, sahut Sheryn ketus. “Santai broooh, ini pekerjaan serius, mudah-mudahan halal, aku mau mengajak kalian kerja membantu usahaku yang sudah dirintis sejak lulus”, ujar Nankai sambil tertawa. “Aku sekarang usaha jual martabak”, “haaaaaaaaah??????”, sahut mereka serempak, “Kenapa gak di bidang IT? kamu tidak sayang dengan ilmumu?”. “Tidak pren, sejak kejadian bersama Mirvay dulu, aku sudah bersumpah di tepi sungai Bonggo untuk tidak akan bekerja di bidang IT, trauma aku”, kata Nankai pelan. “jadi begini pekerjaannya ……………”, Nankai mulai menjelaskan.
(Sekian presentasi kemudian)
“Gimana? oke kan? jadi kalau oke kita bisa mulai kerja minggu depan”, pungkas Nankai. “eeeeeeeee nanti dulu bro, trus kite-kite ini nanti dibayar brempa?”, sergah Sheryn. “Iya Kai, jangan lupa, Upah Minimum sekarang itu 3 juta halland loh, itu sudah diputuskan bersama oleh dewan adat berdasarkan Komponen Hidup Bahagia (KHB)”, imbuh Ferdinand. Nankai mengambil nafas panjang, “soal itu, aku tidak bisa menjanjikan, kalian bisa dapat lebih dari itu, bisa kurang dari itu”, ujarnya. “Misalnya begini, kalau aku bekerja sendirian, keuntunganku selama sebulan setelah dikurangi semua biaya operasional dan pajak pajak resmi maupun tidak adalah 3 juta halland. Kalau Sheryn bersedia membantuku, ada kemungkinan keuntungan meningkat menjadi 4,5 sampai 6 juta halland. Nah misalnya tercapai 6 juta halland masalah selesai, kita bagi dua masing-masing dapat tiga juta dan semua hidup bahagia selamanya”, jelas Nankai. “Nah beres kan berarti?”, sahut Ferdinand.
“Nanti dulu, nah kalau misalnya keuntungan hanya 4,5 juta halland? kalau Sheryn mendapat 3 juta masa aku sebagai pemilik perusahaan hanya mendapat 1,5 juta halland? atau seandainya Ferdinand juga bergabung dan keuntungan kita 6 juta halland apa berarti kalian dapat masing-masing 3 juta dan aku tidak dapat bagian? bisa bangkrut duluan aku kalau asal-asalan mengikuti Upah Minimum. Teoriku adalah upah ditentukan oleh pembagian proporsi keuntungan. Misalnya hanya ada satu pegawai, maka dari keuntungan yang didapat akan dibagi 50-50 atau 55-45 untuk aku, dai dalam kasus kita mendapat keuntungan 4,5 juta, maka Sheryn akan mendapat bagian 2,25 juta halland. Bagaimana kalau Ferdinand juga bergabung? seandainya Ferdinand bergabung dan keuntungan melonjak menjadi 8 juta, maka proporsi bagianku dapat dikurangi karena jumlah karyawan bertambah, anggaplah menjadi 30-70, tapi yang 70% ini akan kalian bagi berdua. Jadi besarnya upah kalian akan ditentukan oleh jumlah keseimbangan antara jumlah pegawai dan produktifitas, kalau kalian ingin upah lebih banyak, bisa dicapai dengan meningkatkan produktifitas, atau mengurangi jumlah pegawai dengan resiko keuntungan perusahaan berkurang dan sebaliknya”. “tapi bagaimana kami tahu berapa sebenarnya keuntungan perusahaan?”, “Ya, untuk langkah awal ini tentunya kalian boleh percaya padaku, aku akan tulisa semua arus uang di buku kas, tentunya tidak sesuai standar akutansi karena aku tidak punya ilmunya. Kalau usaha kita berkembang kita bisa sewa akuntan bahkan auditor eksternal, tapi tentunya upahnya juga akan diambilkan dari keuntungan perusahaan hehehe”.
“Kalau usaha kita berkembang, masa nanti kami akan dibayar sama dengan pegawai yang baru masuk?”, tanya Sheryn. “Nah, semakin besar perusahaan tentunya perhitungannya akan semakin kompleks dan persentase untuk bagianku tentunya harus semakin kecil seiring meningkatnya keuntungan perusahaan, tapi aku yakin selama kita memegang teguh unsur transparansi tidak akan ada masalah. Kalau nanti pegawai bertambah, dan mulai ada jabatan jabatan seperti kalian naik pangkat jadi koordinator wilayah misalnya, tentunya angka pembagi dari katakan 10% jatahku dan 90% jatah karyawan itu tidak langsung dibagi dengan jumlah karyawan. Angka itu akan dihitung lagi dengan bobot jabatan masing-masing karyawan, gampang itu lah kita nanti bisa cari orang pintar untuk menghitung itu, tidak perlu yang gelarnya berderet atau lulusan universitas terkemuka, yang penting dia bisa bekerja di bidangnya dengan benar”, urai Nankai. Kedua sohibnya pun manggut-manggut. “Bagaimana? kalian berminat? kalau tidak mau dan ngotot ingin mendapat sesuai upah minimum sih tidak apa-apa, aku juga tidak memaksa”, “Aku pikir pikir dulu ya Kai”, jawab Sheryn. “Iya aku juga pikir dulu, besok kami akan beri jawaban”, timpal Ferdinand.
Keesokan harinya……….