Disclaimer: ini adalah lanjutan dari post sebelumnya, disclaimer di post tersebut berlaku sama di sini 😀
Pulang kerja setelah lembur hari sabtu, aku mampir ke es campur di seberang supermarket, puas karena parkir di sana tidak bayar. Setelah memesan aku duduk, lalu mainan handphone sambil melihat sekeliling. Tiba tiba ada senyum yang akrab di mata, Tika dan Esty rupanya lagi makan di meja depan, Tika menghadap ke aku, Esty membelakangiku, mereka sama-sama membawa tas. Beberapa saat kemudian Esty pamit duluan, Tika kemudian bergeser duduk di depanku.
“Sendirian aja mas?” dia bertanya. “Iya, habis dari kantor, lembur,” jawabku. “Gak ke toko ta? Ada Rina lho,” godanya sambil tersenyum. Aku menggeleng, “endak, ada perlu, ini cuma mampir haus aja.” Entah kenapa aku enggan ketemu Rina, mungkin karena bingung mau ngomong apa. Tiba-tiba dia merogoh ke kantong jaketnya, mengeluarkan dua bungkus kue gandum, lalu meletakkan satu bungkus di depanku. “Mau?” aku mengangguk, tersenyum, dia membalas tersenyum.
“Gimana sama Rina mas?” Nah, pertanyaan yang paling kuhindari malah ditanyakan. “Biasa-biasa saja,” jawabku datar. Tika tampaknya paham kalau aku enggan membicarakan topik itu. “Kamu tahu ndak kalau kue gandum ini ada rasa baru?” dia mengalihkan topik. Aku menggeleng. “Minggu lalu ada kiriman rasa Keju.” “Kejuuuu? Gimana rasanya gandum rasa keju?” sahutku. Dia tertawa, “Nah sama berarti, aku juga gak habis pikir rasanya seperti apa. Kalau kamu sudah nyoba kasih tahu ya.” Aku mengangguk. Tidak terasa es campurku sudah habis karena asyik mengobrol, memang tidak penting sih temanya, tapi rasanya menyenangkan, suntukku mendadak hilang.
“Eh, bapakku sudah datang, ya sudah mas, aku duluan ya,” tiba tiba dia berpamitan. Dia kemudian berdiri, membayar es campur dan melambaikan tangan ke arahku lalu berjalan ke pria paruh baya yang memegang helm di tempat parkir sepeda motor. Aku menghabiskan kue gandum yang ada di hadapanku, kemudian membayar dan pulang.
Tidak jauh dari situ aku melihat ada perempuan yang sedang menuntun motornya, sepertinya kehabisan bensin. Dia masih memakai seragam supermarket langgananku itu, setelah kudekati rupanya Lisa, si judes yang selalu kuhindari kalau belanja. “Kenapa Mbak?” tanyaku. “Kehabisan bensin,” jawabnya ketus, wajahnya berkeringat karena mendorong motor. Aku tertawa, “Ya sudah tunggu sini aja, daripada nuntun jauh jauh, tak belikan bensin dulu.” “Gak usah.” “Sudah, tunggu sini aja.” Aku segera belikan bensin eceran di penjual kurang lebih 500 meter dari situ. Setelah itu aku kembali ke sana dan membantu si judes itu menuangkan bensin ke tangkinya. “Coba nyalakan,” kataku. Dia mencoba menstarter motornya dan berhasil. “Terima kasih,” katanya, tanpa senyum, dasar manusia yang terbuat dari harga diri. Aku cuma membalas senyum, kemudian aku segera meninggalkannya dan pulang.
Besoknya aku sengaja memilih kue gandum rasa keju seperti yang diberitahu Tika. Aku baru sampai di sana jam 9 lebih karena lembur sia-sia di kantor yang penuh dengan diskusi kosong dan obral retorika. Kasir yang buka tinggal satu, dan si manusia judes itu yang menjaga, lengkap sudah penderitaan hari ini. “Ini saja?” katanya singkat. “Iya,” jawabku tidak kalah pendeknya, sambil mainan handphone. Setelah kubayar, aku ambil kantong plastik berisi kue gandumku dan berjalan ke pintu keluar.
Belum sampai pintu aku merasa ada yang aneh dengan isi kantongku. Ternyata benar isinya ada dua, padahal aku hanya beli satu. Segera kusamperi si judes itu di meja kasirnya. “Mbak maaf, ini kelebihan satu biji,” kataku. “Tidak apa-apa mas, itu gantinya yang kemarin,” jawabnya. Baru aku perhatikan wajahnya, ada satu garis di bibirnya, tidak bisa dibilang senyum sih, tapi lebih baik daripada wajah biasanya. Akupun tersenyum, “Ya sudah kalau begitu, terima kasih ya mbak.” “Sama-sama mas,” kali ini wajahnya agak sedikit terlihat tersenyum, dan benar dugaanku, tidak pernah senyum saja dia kelihatan paling cantik, apalagi kalau tersenyum.
“Besok mau minum es campur?” kukirimkan pesan itu ke Rina. “Boleh, jam berapa?” dia membalas. “Biasanya saja, jam stgh 5.” “Ok,” dia menyetujui. Besok sorenya aku langsung minggat dari kantor jam 4 lebih sepuluh, untunglah hari itu tidak ada lembur. Aku parkir di tempat es campur karena memang tidak ada rencana ke toko. Tidak lama duduk, dari seberang aku lihat Rina keluar dari toko membawa tas, dia menyeberang ke arah sini. Dia tidak sendirian, ternyata dia bersama Tika.
“Sudah lama mas?” sapa Rina, tersenyum, langsung luluh semua kejengkelanku padanya kapan hari. “Endak kok, baru aja duduk,” jawabku, membalas senyumnya. “Aku ndak mengganggu kan?” sela Tika, nyengir memamerkan lesung pipitnya. Aku menggeleng. Akhirnya kami bertiga duduk satu meja, Tika di hadapanku, Rina di sebelah antara aku dan Tika. “Kamu tahu kue gandum rasa keju itu? Aku sudah mencobanya,” kataku ke Tika, memulai obrolan. “Oh yaaa? Trus gimana rasanya? Enak?” Aku menggeleng, “ancur, seperti perkiraan.” Kami bertiga terus mengobrol sambil menikmati es campur kurang lebih 20 menit sampai Tika akhirnya pamit karena bapaknya sudah datang.
“Mas,” Celetuk Rina, “kamu sepertinya senang sekali ngobrol sama Tika.” “Ya, mungkin karena selera makanan kita sama,” jawabku. “Kalian antusias sekali kalau ngobrol” senyumnya menipis, sepertinya aku salah bicara. Aku jadi merasa seperti anak kecil yang disalahkan gurunya karena menjawab jenis ayam favoritnya adalah ayam goreng, sebuah kejujuran yang salah ditangkap. “Ya, kan biasa kalau orang yang sehobi bahan pembicaraannya lebih banyak.” “Tapi sejak terakhir kita pergi ke taman itu, baru sekarang aku lihat wajahmu senang seperti itu.” “Itu kan karena senyummu waktu pertama datang tadi,” jawabku spontan. “Gombal,” serunya sambil meninju pundakku, tapi dia tertawa, baguslah.
“Jadi, kapan kamu membolehkan aku datang ke rumahmu?” “Buat apa?” Dia seperti kaget mendengar pertanyaanku. “Lho gimana sih, katanya aku boleh mengenal lebih dekat, masa tahu rumahmu atau ketemu bapakmu saja ndak boleh?” “Iya iya,” dia kelihatan gugup, “Tapi kapan-kapan saja ya, jangan cepat-cepat.” Dia berdiri, “Aku harus pulang dulu, sudah hampir maghrib, aku tidak bawa rukuh.” Aku mengiyakan, dia segera berjalan ke arah toko, sempat menoleh sebentar dan tersenyum, “Mas, terima kasih ya.” Aku mengangguk, melihat sosoknya menyeberang jalan dan menghilang di balik gedung toko. Ketika aku mau membayar, aku baru sadar kalau mereka berdua ternyata belum membayar.
(Bersambung)
Pingback: Aku, Kau, dan Kue Gandum (3) | emaerdei
Pingback: Aku, Kau, dan Kue Gandum (5) | emaerdei