Seperti dulu sekali pernah saya tulis, kriteria memilih sekolah salah satunya adalah tujuan dari bersekolah itu sendiri. Tujuan ini juga terpecah menjadi dua, tujuan dari orangtua memasukkan anaknya ke sekolah, dan tujuan dari sang anak sendiri saat hendak melakukan ritual penyematan lambang OSIS di dadanya. Syukurlah jika tujuan kedua pihak ini sama, namun jika berbeda juga tidak masalah asalkan bisa saling memahami. Bagaimana jika tujuan dari bersekolah ini hanya main-main?
Apabila anak tidak suka mengikuti pelajaran di kelas, malas mengerjakan PR, dan hanya mau bermain-main lantas bisa dilabeli “tidak niat sekolah”?. Lantas kalau sudah dilabeli demikian biasanya label label susulan pun akan menyerbu mulai “buang-buang uang”, “tidak tahu terima kasih”, “tidak bersyukur”, “besok gede mau jadi apa”, dan serentetannya. Saya sih bersyukur sampai sekarang saya belum menganut pemikiran itu.
Sejak dulu, selama saya mengabdikan diri pada lambang OSIS di dada, hal yang paling saya sukai adalah masuk sekolah tapi tidak ada pelajaran. Saya jauh lebih memilih situasi tersebut daripada libur. Saya suka ke sekolah, karena di sana saya bertemu banyak teman, jauh lebih banyak kemungkinan bersenang senang daripada di rumah, dan tentunya banyak kesempatan membangun kasih sayang :D.
Saat tiba saatnya menyekolahkan anak, kebetulan anak punya hobi yang sama. Dia sering minta dijemput lebih sore karena ingin main bola atau main gempa dengan teman-temannya di sekolah. Sayapun mengiyakan. Saat sesekali dia datang dengan nilai yang tidak bagus saya hanya tertawa. Waktu dilapori tentang PR-nya yang tidak dikerjakan saya juga tertawa. Dan ketika dikeluhi tentang seragamnya yang “compang-camping” saya semakin yakin bahwa dia memang anak saya.
Yang sulit memang memahamkan pada orang sekitar, yang kebanyakan hanya berpikir kalau sekolah “cuma” buat main-main, untuk apa sekolah, main saja sendiri ke luar setiap hari. Untuk yang menyampaikan pikiran begitu pada saya, saya hanya bisa menjelaskan tentang keunggulan sekolah yang banyak orang tidak tahu. Bahwa sebuah “sekolah cuma untuk main-main” itu bukanlah sesuatu yang pantas dilabeli dengan “cuma”
Saya sebagai orangtua, terus terang tidak akan sanggup memberikan pada anak saya apa yang diberikan oleh sekolah. Tidak semua orangtua memiliki kemampuan finansial dan waktu untuk memfasilitasi anaknya setiap hari bergaul dengan puluhan anak lain dari berbagai kalangan. Fasilitas bergaul itu juga diamankan dalam sebuah lingkungan dimana di dalamnya banyak orang yang mengawasi dan menjaga agar nilai-nilai kepatutan antar sesama manusia tidak dilanggar. Para penegak dan penjaga anak kita itu adalah para Guru, wakil orangtua di sekolah.
Bagi saya, kalau anak saya bisa bergaul dan belajar serta bermain bersama puluhan anak lain yang berbeda dengan baik, itu adalah berkah yang sudah cukup. Apabila dari aktivitasnya itu dia kemudian misalnya menjadi pandai atau masuk 5 besar di sekolahnya, anggap saja itu sebagai bonus. Saya hanya ingin selalu menanamkannya sejak dini bahwa “The world is a big place”, bukan ingin menjadikannya juara matematika untuk kemudian saya pasang fotonya memegang piala di seluruh penjuru jagat sosmed. Karena simulasi kehidupan seperti yang diberikan oleh sekolah itu jelas tidak mampu saya berikan sebagai orangtua, maka saya percayakan tugas itu pada sekolah.
Namun sekali lagi, setiap orang punya tujuannya masing-masing. Kalau memang tujuan menyekolahkan anak adalah agar pintar, ya silahkan saja. Tidak ada tujuan yang paling benar, yang penting bisa saling menghargai tujuan masing-masing saja 😀