Ini kisah lama, dongeng dari Hans Christian Andersen yang judul aslinya adalah “The Emperor’s New Clothes“. Alkisah di negeri antah berantah ada seorang kaisar yang sangat menggemari tata busana. Kemudian ada seorang penjahit yang menawarinya untuk membuat baju yang belum pernah ada sebelumnya. Dia menawarkan untuk membuat seperangkat baju ajaib. Keajaiban baju inilah yang kemudian membuat sebuah kehebohan di istana sampai kalangan rakyat negeri tersebut.
Baju tersebut dikatakannya sebagai sebuah baju ajaib. Baju yang tidak akan terlihat oleh mereka yang bodoh atau tidak layak berada pada posisinya. Sebelum dipamerkan, “keajaiban” baju tersebut selalu didengungkan. Seluruh penghuni istana, para Menteri berdecak kagum memuji tubuh telanjang kaisar seolah-olah ada baju yang membungkusnya. Situasi itu kemudian berlanjut sampai ke jalanan, rakyat tidak kalah ribut bersorak dan memuji “baju” sang Kaisar yang berkeliling menaiki kereta. Semua itu mereka lakukan karena tidak ingin dicap bodoh dan tidak layak pada posisinya. Hanya seorang anak kecil yang pikirannya tidak seruwet orang dewasa yang kemudian dengan entengnya berkata “Lho, kaisar kok telanjang”.
Seringkali manusia terjebak pada stigma-stigma yang dibuat (bahkan dipaksakan) entah oleh siapa dan akhirnya bertingkah seperti para menteri dan rakyat dalam cerita di atas. Misalnya, ketika anak kita terlibat keributan dengan anak orang, lalu ada yang lantang berteriak, “Hanya orang yang dalam hatinya masih ada rasa keadilan dan tidak mendukung nepotisme yang berani menghukum anaknya sendiri” maka kita lebih memilih menghukum anak kita daripada membelanya tanpa peduli apakah anak kita benar atau salah hanya demi kebanggaan bahwa kita masih memiliki rasa keadilan dan tidak mendukung nepotisme.
Contoh lain, ketika ada sebuah humor dilontarkan dengan pengantar, “hanya yang memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni yang bisa memahami lucunya” kira-kira apa kemudian yang terjadi?. Mungkin akan ada orang yang memaksa tertawa karena tidak ingin dicap kurang intelek meskipun dia merasa hal itu tidak lucu. Semua demi kebanggaan semu bahwa kita sama seperti apa yang distigmakan.
Stigma membuat kita lupa berpikir. Dengan atau tanpa ada pernyataan soal KKN atau rasa keadilan, sudah sepantasnya kita menghukum anak kita jika memang salah dan membelanya jika tidak salah. Dengan atau tanpa ada pernyataan mengenai kadar intelektual, adalah pilihan kita untuk tertawa maupun tidak karena lucu atau tidak adalah soal selera. Dan semua itu hanya demi sebuah kebanggaan bahwa “saya mampu melihat baju ajaib” 😀
Bayangkan bagaimana terpingkal-pingkalnya si penjahit melihat kehebohan hasil “karya”-nya (sebelum ketahuan tentunya). Perilaku seperti penjahit ini juga ada bahkan mungkin banyak. Ada yang melakukannya dengan sadar dan ada yang tidak sadar. Untuk yang melakukannya dengan sadar, tidak ada komentar, mudah-mudahan segera bertobat. Yang melakukannya tanpa sadar, perbanyaklah ilmu dan wawasan serta pergaulan.
Terkadang orang bisa dengan mudah (meskipun tidak berniat) membuat stigma dan “menggaris tebal” pada orang lain hanya karena kemalasannya berpikir atau kurang cakap bernalar yang berujung pada kesimpulan yang tergesa-gesa. Nalar bukanlah harga mati, nalar bisa dilatih agar bekerja dengan baik, salah satunya dengan memperluas wawasan atau dengan membiasakan untuk menahan menarik kesimpulan dengan tergesa-gesa karena tidak ingin dinilai “tak layak melihat baju ajaib”. Sungguh sulit untuk kembali menjadi anak kecil yang tidak mempedulikan stigma dan berani mengungkapkan kebenaran dengan polosnya.
Jadi, ingin jadi Kaisar, para menteri dan rakyat, anak kecil, ataukah penjahit? 😀