Disclaimer: ini adalah lanjutan dari post sebelumnya, disclaimer di post tersebut berlaku sama di sini 😀
“Sudah lama kerja di sana?”, tanyaku. “Baru 2 tahun,” jawabnya. Dan pembicaraan kami mulai mengalir, hanya disela abang es campur yang mengantarkan pesanan kami. Aku lebih banyak bertanya tentang dia, toh memang tidak banyak dari diriku yang bisa kuceritakan. Tidak terasa hari makin gelap, es campur kami juga sudah lama habis. “Kayaknya kita harus pulang dulu deh,” kataku sambil melirik jam tangan. “Sudah jam 18.05, aku belum sholat maghrib,” sambungku sambil nyengir. “Oh maaf, aku lagi gak sholat soalnya, lupa,” dia menyahut dengan tersenyum lebar.
Setelah membayar, kami kembali menyeberang ke halaman supermarket itu untuk mengambil motorku, Rina juga berjalan ke arah sana untuk pulang ke rumahnya. “Mas, terima kasih ya,” ujar Rina sewaktu aku mau berjalan menuju motorku. Aku mengangguk, naik ke atas motor, melambaikan tangan ke arahnya, dia membalas kemudian berbalik berjalan pulang. Aku merasa ada yang aneh, rupanya si tukang parkir tidak ada, mungkin lagi sholat pikirku, langsung saja aku nyelonong pulang, mampir sebentar di musholla untuk sholat magrib. Sepanjang jalan aku senanggggg sekali, “kencan” pertamaku akhirnya lancar.
Besok sorenya aku tidak melihat Rina di kasir, hanya ada Riska, Esty, dan Lisa. Aku naik ke atas untuk mencari kue gandumku sambil menikmati lagu “Sarjana Muda” dari kang Iwan Fals yang diputar di supermarket tersebut. Sungguh mengecewakan, rupanya rak tempat kue gandum favoritku tersebut kosong. Aku berlutut melihat siapa tahu masih ada di bagian belakang, ternyata benar-benar kosong. “Mau cari kue gandum ya?”, tiba-tiba ada suara yang akrab di telinga menegur. Aku menoleh, rupanya Tika sedang berdiri sambil memegang dua bungkus kue gandum di tangannya.
Aku berdiri dan menganggukkan kepala. “Ini, tadi aku lihat stoknya tinggal dua sewaktu menata barang, kiriman baru datang besok jadi aku amankan saja,” katanya tersenyum sambil mengulurkan tangannya yang memegang satu bungkus ke arahku. “Dua-duanya nggak boleh?” tanyaku. Dia menggeleng, “Aku juga mau, dari dulu aku juga suka jajan ini.” Aku lihat dia memakai gelang anyaman di pergelangannya, di tengahnya ada plat bertuliskan “V.C”. “Itu nama sampeyan Mbak?” tanyaku sambil mengambil kue gandum di tangannya. “Iya, Viantika Cahya, namamu Arif Kurniawan kan?”. “Kok tahu?” tanyaku heran. “Hehe, Rina yang cerita,” jawabnya dengan senyum yang kembali memamerkan lesung pipitnya. Aku mengucapkan terima kasih, bergegas ke bawah untuk membayar dan segera pulang,
“Besok selesai kerja jam berapa?”, aku SMS Rina malam itu. “Besok aku tidak masuk, kenapa?.” “Sore ada waktu?.” “Mau ke mana? Es campur lagi?.” Duh, telak sekali pertanyaannya. “Hehe, yang jelas tidak ke sana lagi, jam setengah 5 bisa? Aku jemput di rumahmu ya?”. “Oke, ketemu di toko saja, jangan ke rumah.”. Meskipun kecewa karena gagal mengetahui rumahnya, tapi aku senang, sekarang tinggal berpikir mau ke mana dan mau ngapain. Mau ngapain? Iya mau ngapain, duh, aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, semalaman aku jadi memikirkan kembali apa yang kumau dari gadis manis ini.
Besok sorenya, jam setengah lima kurang aku sudah memarkir sepeda motorku di parkiran supermarket itu. Kebetulan sekali, aku lihat Rina berjalan ke arah supermarket. Dia memakai jaket merah muda yang senada dengan jilbabnya, dan tidak membawa tas. Dia kemudian melihatku, dan berjalan ke arahku. “Sudah lama?”, tanyanya. “Belum, barusan saja parkir”, jawabku. “Yah aku terlambat, bayar parkir deh kamu jadinya”, katanya sambil nyengir. Aku tertawa, “Gak apa apa, yuk berangkat.” Aku memberikan helm yang memang sengaja kubawa kemudian naik ke atas motor. Rina duduk di belakangku, kemudian kami berangkat meninggalkan supermarket itu, setelah bayar parkir tentunya.
Motor kuhentikan di pinggir taman tidak jauh dari sana. Aku sengaja memilih tempat ini karena ada musholla di taman kota ini sehingga tidak perlu khawatir sholat maghrib di mana. Kuajak Rina ke penjual nasi goreng di taman itu, memesan, kemudian setelah pesanan kami jadi segera kami bergeser ke tempat duduk batu yang banyak disediakan di taman itu. Makan di sini memang nyaman, pemandangannya juga bagus, banyak sekali orang berlalu lalang mulai pengamen, komunitas sepeda, anak skateboard, dan sebagainya. Pantas saja taman ini katanya mendapat penghargaan internasional.
“Jadi?” Rina memulai pembicaraan. “Jadi apa?” aku kaget dengan pertanyaannya. “Ya, kamu bukan cuma mau mengajak aku keliling makan dari satu tempat ke tempat lain kan? Untuk apa kamu ngajak aku keluar lagi?” Aku menghela nafas, berpikir sesaat sebelum naskah jawaban lewat di kepalaku. “Menurutmu sendiri bagaimana? Atau kamu tidak senang?” jawabku. “Bukan gitu,” sahutnya. “Aku cuma tidak mau menduga-duga, walaupun sudah jadi kelaziman, tetap mendengar langsung itu perlu,” sambungnya.
Dia memang sangat terus terang, beda dengan perempuan-perempuan yang aku kenal sebelumnya. Meskipun kita sudah lama tahu satu sama lain, tapi ini baru ke-dua kalinya kita pergi dan dia sudah menodongku dengan pertanyaan seperti itu. Aku senang, pertanyaannya memang membuatku tidak perlu bingung merancang berbagai modus dan skenario untuk mendekatinya lagi. Di sisi lain, aku takut kalau dia buru-buru bertanya karena ingin buru-buru menyudahi.
“Aku hanya ingin kenal kamu lebih dekat,” jawabku akhirnya. “Oh, itu saja? Kalau sudah kenal mau apa?” aku ambil nafas panjang, “Yaa…. Kalau kamu mau sih, aku pingin pacaran sama kamu.” Dia terdiam, tersenyum, lalu kemudian tertawa kecil. “Aku kira kamu mau bilang apa, ternyata mau ngajak pacaran,” ujarnya. “Lho, salah ya?” “Enggak sih, tapi lucu, seperti anak SD aja, pacaran.” “Lantas harusnya gimana?” “Nggak tahu, lha kamu ngajak orang pacaran emangnya mau ngapain?” “Ya supaya bisa mengenal lebih dekat lagi.” “Kalau sudah kenal lebih dekat lagi trus ngapain?” “Ya kalau sudah yakin mau kawin lah, umur udah segini,” sahutku tertawa.
Wajahnya menjadi serius, “Memangnya harus pacaran untuk mengenal lebih dekat?” dia melanjutkan, “Jangan salah sangka mas, aku tidak tidak senang sama kamu, tapi buat aku pada posisi dan usia segini, pacaran itu absurd. Kalau kamu mau kenal lebih dekat ya silakan mendekat, kalau kamu mau kawin ya silakan melamar, sesederhana itu.” Rina bicara panjang lebar. “Kalau selama aku mendekatimu ternyata ada orang lain yang melamar duluan bagaimana? Kan tidak adil buat aku?” “Kalau aku terlanjur menunggu ternyata kamu berubah pikiran gimana mas? Gak adil juga kan? Aku membuka kesempatan yang sama buat semua lelaki yang memang berniat mendekati aku, walaupun sampai sekarang baru kamu yang cukup aneh untuk melakukannya,” urai Rina panjang lebar. Kemudian dia kembali tersenyum, “Lagipula Mas, lamaran itu kan tidak harus diterima, ini kan bukan perlombaan mencari siapa yang tercepat.”
Malamnya aku mendadak insomnia, aku masih memikirkan kata-kata Rina tadi. Lumayan jengkel karena semua yang serba tidak pasti. Tapi aku tidak bisa membencinya, dia mempunyai sejuta alasan untuk tidak dibenci. Melamar? Ah kata-kata itu masih jauh sekali dari kepalaku. Menghidupi diri sendiri saja aku sulit, apalagi berdua. Zaman sekarang mana mau ada cewek diajak hidup susah, mereka semua sudah rajin baca kata-kata manis para motivator, padahal dari dulu juga kalau orang bilang ngajak hidup susah ya maksudnya hidup sederhana dan tidak mewah. Sekarang aku seperti produk strategic management planning yang gagal, ada progres, tapi Key Performance Indicator (KPI) masih nol, sementara rencana output antara tidak terpenuhi. 😀
Pingback: Aku, Kau, dan Kue Gandum (2) | emaerdei
Kalimat pada paragraf terakhir sangat mewakili suasana evaluasi triwulan 3 ya *lol*
Hahaha berlaku universal sepertinya 😀
Pingback: Aku, Kau, dan Kue Gandum (4) | emaerdei