Ada begitu banyak Sirah Nabi Muhammad SAW yang bisa kita baca, pun halnya tidak kurang-kurang dongeng tentang beliau yang kita dengar dari guru agama di sekolah, khatib sholat jumat maupun Ustadz-ustadz di pengajian. Namun membaca buku yang merupakan bagian pertama dari sebuah trilogi ini tetap tidak mengurangi kenikmatannya. Buku karangan Tasaro GK (nama pena tentunya, siapa nama aslinya bisa ditanya sendiri ke paman Google) ini tetap menawarkan sebuah cara lain dalam penyajiannya yang memasukkan unsur sastra dan melibatkan tokoh fiktif di dalamnya.
Membaca buku setebal lebih dari 250 halaman ini tidak membuat bosan. Penulis menyajikannya dalam dua setting secara bergantian. Yang pertama adalah kisah perjalanan Rasulullah SAW, dan yang kedua adalah cerita pencarian Kashva, seorang pendeta di kuil Sistan, seorang penganut Zoroaster yang harus menjadi buronan Khosrou Parvis (raja Persia) karena mengungkapkan ramalan Zarathustra tentang kemunculan sang Nabi dari tanah Arab.
Cerita tentang perjalanan sang Nabi akhir zaman tetap disajikan dengan alur yang sesuai dengan apa yang umumnya dipahami oleh umat muslim. Penulis tentunya tidak mengambil resiko untuk mengutak-atik bagian ini hanya demi mencari kontroversi murahan. Namun yang menjadi nilai lebih adalah tata bahasa dalam penyajiannya. Dia selalu menggunakan kata-kata pujian yang berbeda sesuai konteks cerita setiap kali menyebut sang kekasih Allah SWT tersebut. Cerita juga digambarkan dengan bahasa yang lebih menyentuh dan bernilai, misalnya bisa dilihat dalam potongan adegan perang Uhud di bawah ini.
Pilihan katanya dapat membuat hati yang masih belum mati untuk bergetar. Pembaca dapat lebih menghayati dan seolah-olah ikut menyaksikan adegan demi adegan di dalamnya.
Kisah pencarian Kashva juga tidak kalah menarik. Meskipun dinyatakan sebagai tokoh fiktif, namun pergulatan batin, diskusi-diskusi dan dialog yang dia lakukan dalam menyikapi kemunculan sang Uswatun Hasanah cukup menarik untuk diikuti. Dalam pencariannya, Kashva akan dihadapkan pada begitu banyak kenyataan keras yang selama ini tidan akrab dengannya karena dia tinggal di menara gading. Seiring dengan perkembangan alur, karakternya juga semakin berkembang.
Sebagai Penganut Zoroaster, dia tidak cukup picik dan tetap terbuka mendiskusikan tentang kebenaran kabar munculnya Nabi dari tanah Arab ini dengan teman-temannya yang beragama Kristen, Budha, Hindu, maupun sesama penganut Zoroaster baik melalui surat maupun dialog langsung. Dia terus melakukan pencariannya tentang kebenaran Rasulullah yang disebutnya sebagai “Lelaki Penggenggam Hujan”, sebuah julukan yang tidak umum, asal muasal julukan tersebut dapat dibaca dalam buku ini.
Dan apalah arti sebuah novel tanpa bumbu percintaan di dalamnya? Yang satu ini pun begitu. Meskipun tidak menye-menye, namun pemikiran-pemikiran dan kisah tentang Cinta Kashva dan Astu di dalam buku ini sangat menarik untuk disimak. Dialog-dialog antara keduanya, kilas-kilas balik, dan pengungkapan kebenaran di balik tabir prahara cinta mereka cukup menyentuh. Meskipun demikian, sampai akhir buku ini masih tetap pembaca belum akan dimanjakan dengan kesimpulan. Saya tidak tahu apakah memang dicukupkan sampai di sini atau memang akan dilanjutkan di seri berikutnya karena saya sendiri belum membaca lanjutannya š
Akhir kata, menurut saya buku ini sangat menarik, saya sama sekali tidak menyesal membacanya. Bahasanya meskipun nyastra tetapi sangat ringan dan mudah dipahami. Meskipun sarat unsur filsafat, tidak sampai membuat kepala penat. Dan soal apakah bumbu fiksi ini akan berpengaruh terhadap riwayat Rasulullah SAW, jangan khawatir, penulis cukup kalau tidak boleh dikatakan sangat mahir mengatur alur cerita sehingga (setidaknya sampai episode pertama ini) tidak ada persinggungan di antara bagian yang fiktif dengan yang tidak.
Selamat membaca š
N.B kalau ada yang punya episode kedua dan ketiganya, pinjami saya ya š
Pingback: Para Pengeja Hujan, Sebuah Review | emaerdei
Pingback: Para Pengeja Hujan, Sebuah Review - BamboeRoentjing.com