Hargai Waktu Fan

Disclaimer: kisah ini fiktif belaka, kesamaan nama, tempat, dan kejadian hanya imajinasi anda saja 😀

Disclaimer 2: sebagian besar dialog adalah dialog suroboyoan yang sudah diterjemahkan secara serampangan 😀

“Fan, nanti malam bisa ke kantin?”, SMS dari Anita itu muncul di layar HP Nokia 3310 Fandi. “Bisa, habis dari kantor ya, mudah-mudahan gak lembur :D”, dia menjawab. “Ok.” Malamnya kantin tidak terlalu ramai, Fandi datang dan duduk di salah satu meja panjang di pojok. Tak lama dia melihat motor Smash Anita yang berboncengan dengan Arum, mereka turun dan segera menyusul duduk di depan Fandi. Setelah basa-basi sejenak, “Ada apa? Kok tumben?” tanya Fandi. Anita mengeluarkan sebuah bungkusan dari tasnya dan diserahkan ke Fandi. “Itu titipan dari Rika, buka di rumah saja ya,” kata Anita. “Memangnya dia ke mana? Kok pake dititipin segala”. “Dia sudah ke Madiun, kan mulai minggu lalu dia kerja di sana,” jawab Arum. Setelah mengobrol cukup lama akhirnya mereka pulang.

Sampai di rumah Fandi segera membuka bungkusan itu, rupanya sebuah Buku. Fandi tersenyum, Rika memang tahu kalau dia suka membaca, meskipun dia hampir tidak pernah terlihat membaca buku saat sedang bersama teman-temannya. Dibukanya buku itu, di halaman pertama ada selembar surat yang ditulis tangan, itu tulisan yang sangat dikenalnya, tulisan Rika.

Fan, bagaimana kabarmu? Tak doakan baik-baik saja. Maaf ya aku gak bisa ngasihkan buku ini sendiri ke kamu, aku sudah terlanjur harus berangkat ke sini sejak minggu lalu.

Ini ucapan terima kasihku karena bantuanmu nyari bahan untuk Bikin essay waktu itu, karena dianggap cukup bagus akhirnya aku diterima kerja di sini. Mudah-mudahan buku ini berguna, mudah-mudahan kamu bisa makin menghargai waktu juga.

Terima kasih ya, sampai kita ketemu lagi.

Lagi-lagi anak muda itu tersenyum sendiri, meskipun sedih juga karena tidak ketemu langsung dengan Rika. Dibacanya buku itu sambil menikmati angin malam di atap rumah orangtuanya. Tidak terasa suara shola shola dari masjid pertanda akan masuk waktu subuh terdengar saat dia menyelesaikan halaman terakhir buku itu. Setelah Sholat subuh, dia segera mandi dan berangkat ke kantor, kemudian membayar hutang tidurnya sejenak sebelum jam mulai bekerja tiba.

Saat makan siang, dibukanya kembali surat dari Rika, dibacanya kembali sampai dia hafal. “Hargai waktu”, pesan yang sangat jelas ditangkapnya. Dia ingat betul obrolannya di kantin dengan Rika malam itu, saat mereka masih kuliah. “Kamu mau apa setelah lulus nanti?” tanya Rika. “Ya kerja lah Rik, terus kawin,” Jawab Fandi, jawaban standar dari mahasiswa semester akhir. Rika tertawa, “Terus kenapa kamu masih belum lulus juga? Judul skripsi aja belum ada”. Fandi juga tertawa, “Santai aja, aku masih mau menikmati masa muda, sebelum masuk ke hutan rimba.”

Rika berhenti tertawa, wajahnya mendadak serius. Dia menyeruput kopinya, di saat gadis-gadis seusianya minum milkshake dan jus, dia selalu memilih kopi hitam. “Fan, masih kurang ta waktumu bersenang-senang di sini?” dia melanjutkan, “Kamu tidak pernah tahu kan jatah umurmu berapa? Kamu yakin gak akan menyesal?”. Fandi tersenyum, ditatapnya sahabat karib di hadapannya. Seorang wanita cerdas dan kuat, dia baru saja meletakkan jabatannya sebagai ketua himpunan mahasiswa, jabatan dengan tanggung jawab besar yang mimpipun tak berani dia emban. Wajahnya seperti novel Conan Doyle, penuh misteri, penuh detil, dan penuh dialog deduksi. “Aku memang nunggu kamu lulus duluan, aku masih mau menikmati waktu di kampus ini sama kamu, aku gak yakin kita bakal ketemu lagi kalau kamu lulus nanti.” “Memangnya kenapa kok harus nunggu aku?”

“Ya, sesederhana karena aku suka sama kamu”. Tawa Rika meledak, “Kamu? Kamu habis minum ta? Kok ngelantur gitu.” “Aku serius Ka, sekali-sekali kan aku boleh juga serius.” Rika terdiam, menghela nafas, dia tahu kalau Fandi mulai memanggilnya dengan nama belakang, dia memang serius. “Kalau kamu tidak bisa menghargai waktumu sendiri, bagaimana kamu bisa menghargai orang yang kamu sukai?” Fandi diam, meresapi kata-kata Rika. “Kalau kamu memang serius, kita bicarakan ini setelah kamu lulus.” “Kalau sudah terlambat gimana?” “Ya makanya jangan lama-lama lulusnya.” Rika tertawa. Dan Fandi menepati Janjinya, dia lulus satu semester setelah Rika.

“Jadi gimana? Kamu masih ingat janjimu dulu kan?” Tanya Fandi. “Janji yang mana ya?” “Jangan pura-pura lupa lah, kamu cuma punya satu janji sama aku.” Rika menghela nafas, “Masih ta Fan?” “Ka, kita sudah kenal lama, kita sudah sering bicara tentang banyak hal, apa kamu masih perlu menanyakan itu?” “Ya, kan dalam waktu segitu lama masa kamu gak pernah jatuh cinta dengan yang lain?” “Ka!” suara Fandi agak meninggi, “Ini tidak ada hubungannya dengan jatuh cinta. Sekarang aku memang suka sama kamu. Tapi aku percaya kalau cinta itu seperti kupu-kupu, dia bisa hinggap ke satu bunga, memberikan kenikmatan pada bunga itu, dan sesaat kemudian pindah ke bunga lain, dan bisa kembali lagi ke bunga itu, kamu tidak akan pernah bisa mengatur siapa yang kamu sukai.”

“Lantas kenapa kamu masih menagihku?” “Karena kamu sahabatku, kita sudah saling mengerti, kalau aku harus memilih teman untuk melalui hidup yang serba tak pasti ini, apa menurutmu ada pilihan yang lebih baik?”. “Pikirkanlah dulu Fan, masa depanmu masih panjang, jangan sampai menyesal.” “Kenapa justru kamu yang kelihatannya enggan?” “Enggak Fan, aku cuma gak mau buru-buru saja.” “Bukannya kamu yang selalu bilang untuk nenghargai waktu? Kenapa sekarang kamu justru mengulur-ulur?” “Aku hanya gak mau dipilih karena tidak ada pilihan, yakinkan saja dulu keinginanmu, cobalah melakukan confess sation dengan dirimu sendiri dulu.” Fandi cuma bisa mengangguk, dia tahu wanita di hadapannya ini tidak bisa dipaksa, atau tepatnya dia tidak akan sanggup membawa dirinya untuk memaksanya.

“Mas Fandi, nanti siang aku boleh ke kantormu?” Pesan dari Arum muncul di ponselnya. “Sok atuh, kayak aku orang sibuk aja.” Siangnya mereka makan bakso di kantin belakang. “Ngapain Rum, tumben ke sini?” “Main aja mas, mumpung lagi di Surabaya.” “Oh iya mas, Mbak Rika juga lagi di sini lho.” “Loh iya ta? Dia kok gak bilang.” Tapi Fandi segera sadar, memang sejak Rika ke Madiun hampir setahun yang lalu, dia sudah tidak pernah berhubungan lagi dengannya, nomor telepon pun tidak diberi. “Iya mas, sudah 2 minggu ini, dia ada tugas 1 bulan di sini, kantornya di deket sini kok.”

Pulang kerja, Fandi tidak langsung pulang, dia mampir ke tempat kerja Rika. Setelah meletakkan motor dia mengintip ke ruang-ruang kelas di sana sampai akhirnya dia menemukan sahabatnya itu. Dia menunggu sambil duduk di meja besar di depan ruang kelas itu. “Rik,” panggilnya saat dia keluar, Rika yang bergegas tiba tiba berhenti dan menoleh. Fandi tersenyum, “Hai,” sapanya. Wajah Rika seperti terkejut sekali, kemudian dia tersenyum. “Kamu ngapain Fan?” “Kebetulan aja lewat, kamu sudah makan?” Rika menggeleng. “Ayo makan, deket sini ada warung enak.” Rika mengangguk, merekapun pergi ke warung dekat situ.

Rika seperti biasa memesan kopi, Fandi memesan es Milo. “Kamu kok gak pernah ada kabar sama sekali Rik, sudah hampir setahun.” “Maaf Fan, aku gak punya ponsel, ini aja baru beli bulan lalu.” Mereka pun bertukar nomor. Fandi ingin sekali menanyakan kembali yang tertunda, tapi dia mengurungkan niatnya. Biarlah mereka menikmati dulu reuni itu, toh masih banyak waktu. Mereka mengobrol ringan-ringan saja sebelum kemudian berpisah kembali. Tapi Fandi rupanya keliru, sampai akhirnya Rika kembali ke Madiun, dia tidak pernah ada kesempatan lagi untuk bertemu dengannya. Rika selalu memiliki alasan untuk tidak bisa diajak ketemuan.

Koen iku lanang opo Fan!” Tuding Anita malam itu di kantin. “Maksudmu?” “Ya Rika itu, sudah jauh-jauh ke sini malah mbok anggurin.” Fandi cuma tersenyum. Ah andai saja Anita tahu apa saja yang sudah terjadi. Andai saja dia tahu sudah berapa lama dirinya menunggu dalam kesepian, sejak pertemuan terakhirnya sebelum Rika berangkat ke Madiun dulu, dia belum sekalipun mendekati perempuan lain. Dia masih terus menunggu lewatnya sang Godot. Dan memang sang Godot itu tidak pernah lewat.

“Arum” Nama itu muncul di layar ponselnya jumat malam itu beberapa minggu setelahnya. “Halo,” dia mengangkat teleponnya. Arum tidak langsung menjawab, suaranya terisak-isak. “Mas, mbak Rika mas.” “Kenapa Rika?” Sergah Fandi. “Mbak Rika gak ada mas,” suaranya masih diselingi isak tangisnya. “Kamu guyon kan?” Fandi tahu isakan Arum di ujung telepon itu sudah menjawab pertanyaannya. Sekujur tubuhnya langsung lemas, rasanya dia ingin segera bangun, tapi dia segera sadar kalau dia tidak sedang bermimpi. Malam itu juga dia berangkat ke Madiun bersama Arum, Anita, dan beberapa temannya yang lain. Ketika sampai di sana, Rika sudah dimakamkan. Dia meninggal setelah sakit mendadak, kondisinya langsung turun meskipun sudah di rumah sakit, akhirnya dia meninggal keesokan harinya. Setelah menemui keluarganya, mereka berpamitan pulang.

Malam itu Fandi masih membaca surat terakhir yang diterimanya dari Rika bersama buku yang dititipkan Anita. “Kamu masih sedih ta mas? Sudah hampir sebulan ya,” kata Arum. Fandi cuma diam. “Kamu menyesal ta gak sempat menyatakan cinta ke mbak Rika?” Fandi gusar, “Kamu itu gak tahu apa-apa, aku sudah berkali kali ngomong soal itu, aku bahkan pernah mengajaknya menikah, tapi dia yang gak mau.” “Kamu salah mas, mbak Rika itu sayang sekali sama kamu.” “Tahu dari mana kamu?” suaranya melunak. “Ya dari cara dan ekspresinya kalau sedang bersama kamu, masa kamu nggak pernah sadar?” “Tapi buktinya dia menolakku” “Waktu dia terakhir ke Surabaya, beberapa hari sebelum dia kembali ke Madiun dia pernah cerita sama aku.” “Cerita apa?” “Ya itu, dia sayang sama kamu, waktu kamu muncul di tempat kerjanya dia senang sekali. Dia sudah berniat memberi jawaban kalau kamu waktu itu menagih janjinya. Tapi kamu tidak mengungkitnya lagi, jadi dia mengira kamu sudah lupa.”

“Lantas kenapa dia dulu tidak mau tak ajak menikah?” “Dulu, dia memang ragu-ragu, meskipun cara hidupmu begitu apa adanya, tapi dia tahu kalau keluargamu itu keluarga yang berada, setidaknya dibandingkan keluarganya. Dia takut orangtuamu gak akan merestui dan memandang dia sebelah mata.” “Bodoh,” cuma itu kata yang terucap dari mulut Fandi, dia menunduk, tidak terasa air mata menetes membasahi surat dari Rika. “Hargai waktu” kata-kata itu yang terngiang di benaknya. Dia baru menyadari kesalahannya. Seandainya dia tidak menganggap remeh waktu, seandainya dan seandainya, tapi semua sudah terlambat. Dilipatnya surat itu, dimasukkannya ke dalam saku, dia pamit ke Arum, dan pulang ke rumahnya.

This entry was posted in Cerita and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s