Angin dan Matahari

“Hei Angin, mau kemana kau?” sapa Matahari. Angin yang biasanya meliuk-liuk kali ini tampak tertegun, dia memutari serumpun semak-semak, kemudian naik dan bertengger di puncak pohon durian tua. “Ah Matahari, entahlah, aku tak tahu kemana harus berhembus, aku bahkan tak tahu lagi untuk apa aku berhembus.” sahutnya lesu. “Kau memang angin yang angin-anginan, kenapa pula kau kali ini?” tanya sang surya.

Angin kembali bergerak, dia berhembus di sela-sela buah manggis, kemudian kembali ke puncak pohon durian itu lagi. “Entahlah, kau ingat ketika kita bertanding tempo hari? Kita ingin tahu siapa yang bisa membuat orang melepaskan jaketnya? Dan aku gagal total? Usaha terbaikku hanya dapat membuatnya semakin merapatkan jaketnya. Dan ketika melihatmu berhasil melakukannya hanya dengan bersinar diam di atas sana, aku benar-benar tersadar betapa tak berartinya diriku.”

Dia melanjutkan, “Selama ini aku tak pernah memikirkannya. Aku hanya berhembus, kemana aku ingin, ke siapa aku ingin, tak pernah aku berpikir apakah hembusanku diharapkan atau tidak. Tapi kini, aku semakin ragu-ragu untuk berhembus.” Matahari terdiam, dia tak menyangka pertandingan konyolnya tempo hari bisa berbuntut seperti ini. Waktu itu dia hanya terpancing dengan ejekan angin dan ingin memberinya pelajaran, siapa sangka pertandingan yang menjadi gerbang sejenak menghirup masa muda itu berakhir begini.

“Bukan begitu, kau adalah sang angin, yang bisa berhembus kemana kau mau, mengapa pandangmu tak seluas jelajahmu? Kau memang kalah karena itu adalah pertandingan membuat orang melepas jaket, kalau kau balik pertandingannya, niscaya kau yang akan menang. Kemenanganku hanyalah karena akulah yang memilih pertandingannya, seperti kancil yang menantang ikan berlari, dia akan menistakan dirinya ketika pertandingannya adalah berenang. Lihatlah aku, setiap hari melintasi rute yang sama, terpaku di atas sini. Aku selalu iri padamu yang bisa menghembuskan cinta, menyentuh pipi, menggoyang kelopak, dan meniup bayi-bayi dandelion. Sedangkan aku hanya mampu mengirimkan salam melalui cahayaku.”

“Mungkin kau benar, mungkin aku tak sepatutnya menghitung apakah cinta yang kuhembuskan akan merasuk ke jiwa setiap makhluk, aku hanya perlu berhembus, ke mana aku ingin, ke siapa aku ingin, karena cinta memang tak perlu berhitung. Kau memang luar biasa, pantas mereka begitu mencintaimu. Meskipun kau terpaku di sana, tapi sinarmu menerangi seantero jagat, sampai ke dalam relung jiwa.” Angin kembali berhembus menuruni pohon durian, kemudian membelai bunga yang sedang dimainkan oleh kupu-kupu.

“Aku yang berterima kasih padamu sahabat, kau menyadarkanku akan kesombonganku. Teruslah berhembus, sampai kau akan kembali pada ketiadaan di hari yang telah dijanjikan, dan aku akan bersinar, sampai tiba saatnya aku berbalik arah dan memusnahkan alam raya yang bernyanyi ini.”

This entry was posted in Cerita and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s