Sejak pandemi Corona ini menyebar, aplikasi Zoom, khususnya di Indonesia, seperti ketiban durian runtuh. Ketika kontak fisik harus dikurangi dan ditekan serendah mungkin, Video Conference, selanjutnya disebut Vidcon, menjadi alternatif cara berkomunikasi yang paling realistis. Dan entah kenapa, meski terbalut pro-kontra, Zoom adalah aplikasi Vidcon yang lumayan banyak dipakai, khususnya oleh kalangan Pemerintah. Selain Zoom masih ada lagi sejumlah aplikasi Vidcon lain seperti Webex dari Cisco, Team dari Microsoft, dan bahkan video group call dari Whatsapp. Berhubung saya hanya pernah menggunakan Zoom dan Whatsapp Video Group Call, dan saya yakin juga banyak yang sudah lincah menggunakannya, Saya hanya ingin menyoroti hal lain yang mungkin selama ini kita lupakan. Hal dasar yang mungkin bisa kembali kita pelajari dengan menggunakan aplikasi sejenis ini. Ya, itu adalah cara berdiskusi maupun berdebat.
Sebelum negara api pandemi menyerang, ada dua bentuk diskusi/debat yang sering dipertontonkan. Yang pertama adalah dengan tatap muka di acara TV atau Forum terbuka. Yang ke-dua adalah dengan berpolemik melalui forum online/medsos/media lainnya maupun chat menggunakan aplikasi seperti Whatsapp, (Almarhum) Yahoo Messenger, Telegram, dll. Bagi Saya, kedua-duanya seringkali sama-sama sulit untuk dinikmati, bukan karena wadahnya, tapi lebih ke seringnya terjadi penyelewengan di sana. Saya pribadi juga berkali-kali menyesal karena sering tergoda untuk melakukan penyelewengan-penyelewengan tersebut, itulah yang kemudian mendorong untuk menuliskan hal ini saat mendapat angin segar pembelajaran bernama Zoom 😀 . Tentu saja ini adalah pendapat pribadi dari diskusi-diskusi yang Saya lihat. Tidak menampik kemungkinan bahwa bagi orang lain semua yang diuraikan dalam tulisan ini tidak pernah ditemui. Mungkin saja Saya yang memang salah pergaulan 😀 .
Coba ingat-ingat, kapan terakhir kali kita menyaksikan sebuah diskusi baik langsung maupun tidak langsung antara banyak pihak yang benar-benar konstruktif dan menghasilkan kesimpulan ataupun tindakan nyata yang bagus? Seberapa sering dibandingkan sebuah acara yang masing-masing pihak saling berebut waktu untuk bicara dan menyampaikan pendapatnya sendiri tanpa mau tahu dengan pendapat maupun latar belakang pihak lain dalam mengeluarkan pendapatnya. Lebih banyak mana antar pihak mendengar untuk memahami dibandingkan mendengar untuk menanggapi? Terkadang hal ini bisa menjadi lebih parah ketika masing-masing sudah kehabisan waktu dan saling memotong ketika pihak lain bicara, konstruksi pemikiran macam apa yang hendak dibangun dengan cara seperti itu? yang ada penonton awam seperti saya justru semakin bingung, bahkan tidak jarang kemudian lahir kaum yang ogah berdiskusi karena sering disuguhi cara berdiskusi yang seperti itu. Sekali lagi, ini bukan salah acara ataupun wadahnya, ini murni masalah oknum saja.
Wadah online terkadang juga tidak jauh berbeda. Kalau media tatap muka seringkali terlalu terbatas waktu, media online justru sebaliknya. Karena tidak ada tatap muka dan waktu serta moderator yang bisa dikatakan longgar, fleksibilitas tersebut kemudian disalahgunakan oleh oknum-oknum untuk melakukan hal-hal yang kurang baik. Menulis panjang lebar berputar putar, terkadang tidak nyambung, spamming link, melontarkan logical fallacy berkali-kali, menyerang personal, topik yang melompat-lompat, dan diskusi yang tidak pernah berakhir karena tidak ada batasan waktu meskipun yang ditulis ya itu-itu saja tapi diputar-putar, masing-masing menunggu pihak lain lelah dan menyerah. Sekali lagi, ini bukan soal wadah, ini soal oknum.
Ada dua macam orang yang bagi saya sangat menghambat sebuah proses diskusi. Yang pertama adalah yang selalu bicara panjang lebar berputar-putar padahal maksudnya ya itu-itu saja, bahkan kadang pembicaraannya tersebut tidak jelas isinya apa. Yang ke-dua adalah orang yang selalu memaksakan (tanpa dasar argumentasi yang jelas) pendapatnya dan cenderung memotong pendapat yang tidak sesuai dengan keinginannya. Bagaimana cara mengatasinya? salah satu caranya adalah dengan menggunakan Zoom (dan aplikasi sejenis dengan fitur yang sama). Aplikasi ini bisa menjadi sebuah sarana latihan yang mumpuni sebelum seseorang atau lebih naik ke panggung maupun terjun ke dalam forum untuk berdiskusi. Vidcon dengan aplikasi ini memberikan sarana berlatih yang sangat lengkap baik sebagai peserta diskusi maupun sebagai moderator.
1. Sebagai Moderator
Hal pertama yang perlu diingat adalah, moderator bukanlah provokator. Moderator bukan hanya berperan melempar-lempar masalah dan mengadu para panelis, narasumber, maupun peserta diskusi. Justru sebagai seorang moderator dia harus memahami permasalahan yang akan didiskusikan dan bisa mengidentifikasi hal-hal apa saja yang perlu digali dan dipertajam. Dengan memiliki modal itu dia dapat menjalankan peran berikutnya, yaitu sebagai pengendali diskusi. Di sinilah aplikasi sangat berperan. Di dunia nyata, kita sulit mendidik orang untuk bergantian bicara, namun dengan Zoom, kita bisa dengan mudah me-mute orang yang belum waktunya bicara. Moderator juga bisa memotong dengan tegas peserta yang sudah terlalu banyak bicara berputar-putar, melebihi batas waktu, melebarkan topik, dll. Dengan memaksimalkan fitur yang ada, alur dan kerangka diskusi bisa dibangun dengan rapi dan apik, namun tentunya semua tetap kembali pada kapasitas sang Moderator sendiri baik pemahamannya terhadap pendapat-pendapat yang terlontar maupun identifikasinya terhadap para peserta diskusi.
2. Sebagai Peserta
Sebagai seorang peserta, yang pertama harus kita bangun sebagai mindset adalah seperti petuah Han Bi Kwang, bahwa “cara berpikir orang itu berbeda-beda”. Dengan mindset seperti itu, kita akan belajar berusaha untuk mendengarkan dan memahami sudut pandang orang lain. Peserta sebuah diskusi harus belajar menahan diri untuk sabar dan tidak bicara sebelum diminta, tidak memotong pembicaraan orang lain, dan menyampaikan pendapat seringkas dan sejelas mungkin dalam rentang waktu yang diberikan. Kalaupun kemudian ada argumentasi pihak lain yang kita rasa salah dan perlu diluruskan atau dibantah, susunlah argumentasi sebaik dan serapi mungkin. Hal lain yang tidak kalah penting adalah belajar untuk legowo menerima perbedaan, menerima kalau ternyata argumentasi kita tidak disepahami oleh sebagian kecil maupun besar peserta lain. Jadikan itu sebagai otokritik untuk memperbaiki argumentasi kita di lain kesempatan, jangan jadikan itu alasan untuk melempar-lempar kursi atau naik-naik ke meja.
3. Sebagai Penonton
Sering saya mengikuti sebuah diskusi yang topiknya jauuuuuh di luar kemampuan maupun pengetahuan yang ada di kepala. Di dunia nyata, hal yang paling sulit Saya lakukan saat menjadi penonton adalah menahan diri untuk tidak berkomentar yang berlebihan sehingga mengganggu jalannya diskusi. Mencemooh, booing, bersorak-sorak, bertepuk tangan secara berlebihan, dan celometan adalah sebagian contohnya. Sekali lagi, dengan Zoom, moderator bisa membatasi kita dari melakukan kesalahan tersebut. Kalaupun kemudian ternyata moderatornya tidak terlalu tegas, kita bisa menekan sendiri tombol mute yang ada di aplikasi kita. Tidak lucu juga kan kalau kita lagi vidcon di rumah kemudian ada suara anak-anak lagi bertanding mario kart atau bertengkar berebut antara menonton The World of The Married atau Romantic Doctor Kim 😛 .
Okay, mungkin itu saja yang bisa terulas dari besarnya manfaat aplikasi Zoom ini. Semoga bermanfaat, awali dengan se-zoom-an :D.
NB. Saya sama sekali bukan berniat mempromosikan Zoom, aplikasi lain bisa jadi memiliki fitur yang sama bahkan lebih baik, Saya hanya belum mencobanya saja 😀
Pingback: Pendidikan Se(te)la(h) Pandemi | emaerdei
Pingback: Pendidikan Se(te)la(h) Pandemi – K-JAM
Pingback: IT (TIK) Bukan Solusi Segala Masalah | emaerdei