IT (TIK) Bukan Solusi Segala Masalah

Image by Gerd Altmann from Pixabay

Uber, Airbnb, Amazon, dan sederetan lagi nama yang pernah atau masih besar di sekitar kita. Nama-nama itu adalah contoh dari usaha yang sukses melakukan perubahan dari pola bisnis yang telah ada mengikuti cara mereka. Kalau ditanya tentang apa yang membuat mereka sukses, sebagian orang mungkin akan menjawab “aplikasinya” sebagai faktor penentu. Kalau saja jawaban itu benar, maka mengapa kemudian tidak banyak pihak lain yang membuat aplikasi serupa atau mirip-mirip kesuksesannya juga mirip-mirip? Ini menunjukkan bahwa aplikasi, yang dalam hal ini adalah salah satu bagian dari Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), bukanlah solusi dari segala masalah.

Secanggih apapun, TIK hanya sebuah alat. Kita bisa membuat sebuah pisau yang begitu tajam sehingga bisa memotong batu dan tetap tidak menyelesaikan masalah lambatnya proses potong-memotong daging di pabrik. Hal ini bisa terjadi karena banyak faktor, mulai dari gagang pisau yang pas di tangan pembuat tapi ternyata terlalu kecil untuk rata-rata ukuran tangan pegawai pabrik hingga kenyataan bahwa ternyata lambatnya proses bukan karena tumpulnya pisau melainkan kualitas teknik memotong daging para pekerja yang di bawah rata-rata. Demikian pula dengan TIK, aplikasi hanyalah satu bagian, aplikasi membutuhkan infrastruktur yang baik agar dapat berjalan dengan baik. Berjalan dan berfungsi dengan baik saja belum cukup, keduanya juga memerlukan keserasian dengan penggunanya agar fungsinya menjadi optimal. Dalam konteks bisnis, TIK adalah sebuah business enabler yang menjadi bagian dari solusi, sebagai sarana mencapai tujuan, bukan solusi itu sendiri. Inilah yang kemudian menyebabkan bergesernya pakem “menjual aplikasi” menjadi “menjual solusi.

Sebelum memasukkan TIK ke dalam solusi, yang terlebih dahulu harus dimantapkan adalah runutan pendekatan terhadap masalah. Misal dalam situasi pandemi ini kontak fisik merupakan sesuatu yang dihimbau untuk tidak dilakukan, lalu bagaimana apabila terdapat kebutuhan melakukan rapat? alternatif pertama adalah melakukan rapat konvensional dengan menjaga jarak, bila ruangan yang tersedia tidak mencukupi maka akan muncul pilihan-pilihan. Pilihan pertama adalah mencari ruangan yang lebih luas, salah satu pilihan lainnya adalah mencari cara agar rapat dapat dilakukan tanpa harus berkumpul dalam satu ruangan. Di sini kemudian TIK mulai masuk sebagai tawaran solusi, mulai dari menggunakan fasilitas telepon beramai-ramai (group call) sampai video conference (vidcon) bisa menjadi pilihan.

Memilih menggunakan solusi TIK bukan tanpa pertimbangan, karena aplikasi tidak bisa berjalan sendirian. Bila kita hendak melakukan video conference misalnya, tentunya akan ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk koneksi para pesertanya, terutama host-nya. Bukan hanya biaya, faktor-faktor lain seperti kemudahan penggunaan, kualitas output yang diharapkan, dan hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan juga akan mempengaruhi keputusan apakah TIK bisa menjadi bagian dari solusi atau tidak. Seluruh pertimbangan dan perhitungan ini mengakibatkan kesimpulan dan keputusan yang diambil akan berbeda-beda bagi setiap entitas, karena itulah tidak ada satu aplikasi yang bisa menyediakan solusi untuk permasalahan yang sama bagi semua pihak.

Ketika kemudian keputusan telah diambil, apakah masalah kemudian selesai? Belum tentu, saat mencoba menerapkan solusi, bisa saja kemudian muncul masalah baru. Bisa juga kemudian dalam perjalanannya terdapat hal-hal lain yang menjadi kebutuhan atau ada variabel perhitungan yang kemudian berubah. Dalam contoh kasus kebutuhan rapat, fenomena zoombombing atau penyusupan dan gangguan saat proses vidcon menjadi sebuah hambatan baru. Belum lagi ditambah kekhawatiran bahwa terdapat sejumlah materi rapat yang dianggap rahasia sehingga rawan kalau sampai bocor. Dengan pertimbangan tersebut maka kemudian muncul alternatif untuk mengembangkan aplikasi vidcon sendiri. Bukan hanya aplikasi, penyediaan server dan bandwidth juga harus diperhitungkan, termasuk pemeliharaannya, apakah masih tetap menjadi solusi yang lebih mudah dan murah dibandingkan menyewa tempat yang besar?

Demikianlah, proses mencari solusi, dengan maupun tanpa melibatkan TIK akan selalu berkembang. Dia akan mengalir mengikuti siklus dialektika tesa dan antitesa. Dalam dunia kerja saat ini, skema yang cukup populer untuk menggambarkan siklus ini adalah PDCA (Plan, Do, Check, Action). Dimulai dari perencanaan, diakhiri dengan implementasi, kemudian kembali ke perencanaan, dan seterusnya mengalir mengikuti perkembangan internal dan external. TIK sendiri memang akhir-akhir ini sering terbukti menjadi sebuah alat yang ampuh, selama perhitungannya dilakukan secara menyeluruh sampai ke perangkat pendukung dan para manusia penggunanya. Sayangnya, seperti judul tulisan ini, sebagian orang suka terburu-buru melompat pada kesimpulan untuk membuat aplikasi sehingga alih-alih menyelesaikan, justru menambah masalah baru.

Kalau dibahas secara detil, pada persoalan menentukan mau rapat offline atau online saja ada begitu banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Perjalanan pelaksanaan dan pengembangannya juga tidak semulus yang dibayangkan, tidak sesederhana “pakai aplikasi, beres”. Belum lagi untuk persoalan yang lebih kompleks dan melibatkan banyak faktor. Misalnya menemukan solusi tentang penyediaan layanan bisnis, mengelola ekosistem yang melibatkan transaksi banyak pihak, atau penerapan e-government. Tentunya hal tersebut tidak akan sesederhana memutuskan pilihan metode untuk melakukan rapat. Jauh lebih banyak energi yang dibutuhkan untuk memikirkan, mendiskusikan, merancang, apalagi menerapkannya. Yang jelas, agar solusi terbaik bisa ditemukan, kecenderungan menganggap bahwa TIK adalah solusi segala masalah perlu ditinggalkan, bisa jadi ada solusi lain yang lebih efektif, tapi jika memang dengan TIK tujuan dapat tercapai dengan jauh lebih baik maka jangan ragu-ragu untuk menggunakannya.

This entry was posted in Komputer, TIK/IT and tagged , , . Bookmark the permalink.