Pandemi Covid19 atau lebih beken disebut Corona ini membuat situasi begitu kacau. Semua sektor porak poranda diterjangnya. Yang awalnya bagus menjadi hancur, yang sejak awal sudah kacau namun tertutupi situasi terlihat kenyataannya. Yang paling terasa dan selalu menjadi trending topic tentunya adalah masalah kesehatan dan ekonomi. Tanpa pandang judul, forum sepakbola, grup alumni sekolah, grup memasak, grup keluarga, rasanya nyaris tiada hari tanpa bahas Corona dan akibatnya pada kondisi ekonomi dan angka-angka kesehatan. Di sela-sela itu semua, ada satu hal lagi, yang meski tidak sederas dua topik pertama, juga menjadi pokok pikiran dan penyebab gundah gulana banyak orang. Hal itu adalah tentang pendidikan. Ketika waktu terus bergerak mendekati tahun ajaran baru, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono sebagaimana dimuat di portal berita Kompas tanggal 7 Mei 2020 menyampaikan wacana bahwa sekolah akan direncanakan untuk kembali dibuka pada 15 Juni 2020. Diskursus ini kemudian menjadi sebuah topik yang cukup hangat dibicarakan di kalangan orangtua. Bagaimanakah pendidikan anak-anak nantinya di se(te)la(h) pandemi ini?.
Apabila pandemi ini memang sudah akan berakhir pada bulan Juni sesuai prediksi, tentunya tidak akan terlalu menjadi masalah. Sayangnya prediksi bulan Juni itu kemudian sudah diralat dan tidak dianggap meyakinkan lagi. Lantas bagaimana nasib anak-anak kita jika pandemi belum berakhir dan ternyata sekolah tetap kembali dimulai pada 15 Juni? Semua itu tentunya akan tergantung dari sejumlah faktor yang akan menjadi bahan pertimbangan masing-masing orangtua guna memilih dari sejumlah alternatif yang dapat diambil. Secara garis besar akan ada 2 pilihan yang terbuka, kembali ke sekolah atau melanjutkan di rumah.
#Melanjutkan di Rumah
Jika keamanan anak-anak kita di sekolah menjadi pertimbangan utama dan sebagai orangtua masih kurang yakin dengan kemampuan sekolah menjaga protokol kesehatan anak-anak kita nantinya, maka melanjutkan pendidikan dari rumah bukanlah hal yang tabu. Ada banyak sekali opsi yang bisa diambil agar pendidikan anak tetap terjaga kualitasnya. Yang pertama adalah homeschooling (HS). Metode ini bukanlah hal yang baru, bahkan jauh sebelum ada pandemi ini sudah banyak orangtua yang memilih cara ini untuk mendidik anaknya.
HS bisa juga kemudian dipadukan dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Dalam situasi begini, LBB dan para pengajar les privat maupun lembaga lainnya yang bergerak di bidang yang sama tentunya akan bertransformasi untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan baru yang entah sementara atau sementahun ini. Akan ada banyak pilihan pelajaran-pelajaran online baik secara bersama sama lewat video conference (vidcon) maupun secara privat.
Keuntungan metode ini adalah jika dilaksanakan dengan baik maka selain belajar, kedekatan emosional orangtua dan anak juga akan bertambah. Materi-materi pelajaran bisa lebih difokuskan pada yang sesuai dengan minat dan bakat anak karena tidak kaku pada kurikulum, tidak perlu memaksa ikan memanjat pohon atau memaksa harimau menggali lubang, tapi kalaupun ingin menjadi ikan plus plus yang bisa memanjat pohon pilihan tersebut tetap terbuka lebar.
Sesungguhnya bila ada keuntungan maka akan ada juga kerugian. Memindahkan pendidikan anak ke rumah tentunya membutuhkan sarana dan prasarana yang tidak sedikit. Menambah kuota internet pada perangkat mobile atau berlangganan internet menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari pembelajaran secara online. Perlu juga dipertimbangkan untuk menyediakan media pembelajaran khusus bagi sang anak (Handphone, tablet, laptop, atau PC) sesuai kemampuan orangtua agar tidak mengganggu keperluan lainnya. Tidak lucu juga ketika anak sedang asik mengikuti pembelajaran harus terhenti karena berebut dengan ayahnya yang perlu melakukan vidcon bersama teman-teman sekantor.
Dukungan dari external juga sangat diperlukan agar pilihan ini menjadi “pilihan tepat kakak” seperti yang sering diucapkan pramusaji sebuah gerai makanan terkemuka. Yang pertama tentunya dukungan infrastruktur telekomunikasi bagi daerah yang belum tersedia sinyal yang cukup stabil. Dukungan dari Pemerintah juga menjadi sebuah faktor yang penting apabila kelak anak yang menempuh pendidikan di rumah hendak kembali ke sekolah formal. Perlu diatur mekanisme penyetaraannya apabila mereka hendak kembali ke sekolah formal di tengah jalan, misalnya berhenti sekolah saat kelas 1 SMP dan hendak kembali masuk saat kelas 3 SMP.
Ujian penyetaraan kejar paket juga perlu diantisipasi apabila terjadi ledakan peserta. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2019 jumlah peserta ujian Kejar Paket B sekitar 119 ribu orang, hanya sekitar 2,8 persen dari 4,2 Juta peserta Ujian Nasional SMP. Apabila misalnya seperempat siswa jenjang tersebut tidak melanjutkan sekolah dan menempuh pendidikan di rumah kemudian mengikuti ujian kesetaraan, maka akan ada tambahan kurang lebih 1 juta peserta hanya untuk jenjang SMP saja, belum lagi SD dan SMA, apakah infrastrukturnya siap dengan situasi seperti ini? Apakah Ujian tetap menuntut kehadiran fisik atau bisa dari rumah? Bagaimana antisipasinya terhadap kecurangan apabila bisa dilakukan dari rumah dengan sistem CAT? Ini akan menjadi salah satu PR besar bagi Pemerintah, sebab salah satu faktor sistem CAT (Computer Assisted Test) selama ini dapat cukup menekan kecurangan adalah peserta tetap hadir dan diawasi.
#Kembali ke Sekolah
Kembali ke sekolah memang membuat kekhawatiran tentang kelanjutan jenjang pendidikan anak bisa dilupakan. Namun bersekolah di tengah pandemi merupakan tantangan yang luar biasa besar bagi semua pihak baik Sekolah, Guru, Pemerintah, maupun para siswa sendiri. Anggaplah tantangan perasaan khawatir bisa diabaikan, masih banyak tantangan-tantangan teknis yang harus dihadapi untuk menjaga keberlangsungan kesehatan para siswa, guru, dan keluarga di rumah dari ancaman wabah.
Yang pertama terkait physical distancing. Tentunya ruang kelas harus dirombak total, antar bangku harus diberi jarak yang sesuai dengan protokol kesehatan. Hal ini tentunya berimbas kepada berkurangnya jumlah manusia di dalam 1 kelas. Apabila tidak bisa menambah ruang kelas, maka jadwal pembelajaran harus dibuat shift. Jika sehari hari masuk jam 07.00-12.00 atau 5 jam pembelajaran, maka shift ke-dua akan berlangsung sampai jam 17.00 bahkan 18.00, atau bisa juga meniru kantor kantor yang melakukan kombinasi satu hari masuk dan satu hari dari rumah. Meniadakan jam istirahat, sekaligus mencegah interaksi para siswa yang sulit dikendalikan, atau menerapkan jam istirahat tetap berada di kelas juga bisa menjadi alternatif untuk memangkas lama pembelajaran di sekolah. Pertanyaannya, apakah semudah itu merombak ruang kelas agar menjadi layak? Kalau melihat data dari BPS, untuk setiap jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA, SMK) jumlah ruang kelas yang kondisinya baik tidak sampai 50 persen (27,4% SD, 31,28% SMP, 44,53% SMA, dan 47,35% SMK), sementara sebagian besar kondisinya rusak ringan/sedang (63,91% SD, 61,32% SMP 51,36% SMA, dan 50,78% SMK), dan sisanya rusak berat (8,69% SD, 7,4% SMP, 4,12% SMA, dan 1,87% SMK) . Kondisi ini tentunya menuntut upaya-upaya percepatan dari Sekolah dan/atau Pemerintah untuk mengkondisikan kecukupan ruang kelas yang dapat memenuhi standar protokol kesehatan.
Apakah para guru sudah siap dengan perubahan ini juga merupakan sebuah pertanyaan penting. Dengan rata-rata rasio guru dan siswa dimana 1 guru rata-rata bertanggung jawab terhadap 15 sampai 16 siswa, penambahan shift belajar ini juga berpotensi menguras stamina para guru karena jam mengajar mereka otomatis bertambah. Bagi sekolah yang mampu menambah jumlah guru mungkin persoalan ini bisa diantisipasi, tapi bagi yang tidak bisa tentunya harus mengatur strategi, bahkan bila perlu jumlah jam belajar dalam 1 hari bisa dikurangi dari yang semula 5 jam menjadi 3 atau 4 jam. Hal ini juga selaras dengan himbauan penggunaan masker yang tidak lebih dari 4 jam dalam sehari. Membekali siswa dengan masker cadangan mungkin bisa dilakukan untuk siswa SMP dan SMA, tapi untuk siswa SD, hal ini akan cukup riskan.
Tantangan berikutnya adalah menghindari aktivitas-aktivitas yang tidak pro physical distancing seperti upacara, olahraga beramai-ramai, dan penumpukan manusia saat masuk dan pulang sekolah. Upacara bisa ditiadakan, olahraga bisa dikurangi pesertanya seiring dengan berkurangnya jumlah siswa dalam 1 kelas, dan penumpukan bisa sedikit dikompromikan dengan menerapkan jam masuk dan pulang yang tidak berbarengan namun selisih 30 menit – 1 jam antar kelas. Khusus aktivitas olahraga, sepertinya perlu juga dipertimbangkan untuk ditiadakan karena tidak ramah masker. Masker bisa basah karena keringat dan menjadi tidak berguna, selain itu olahraga dengan tetap mengenakan masker juga berpotensi menimbulkan masalah bagi yang tidak terbiasa.
Selama sekolah berlangsung, proses monitoring dan pencegahan penyakit juga harus tetap dilakukan. Perlu ada mekanisme untuk secara rutin melakukan rapid test covid kepada para penghuni sekolah baik Guru, Siswa, Pak Bon, termasuk juga para penjual di kantin. Apakah dilakukan secara menyeluruh atau sampling, rutin 3 hari sekali atau sebulan sekali, dan detil lainnya tentunya yang lebih berkompeten yang akan menentukan. Pertanyaan besarnya sebetulnya adalah jika hal tersebut dilaksanakan, siapakah yang akan menanggung biayanya? Dan bagaimana menjaga keberlangsungan belajar bagi siswa yang kebetulan hasil tesnya reaktif?.
Yang terakhir juga menjadi pertimbangan yang tak kalah penting adalah biaya. Semua upaya pengamanan terhadap tantangan-tantangan di atas sangat mungkin berpengaruh pada biaya sekolah, sementara kita tahu bahwa pandemi ini juga menurunkan daya beli banyak orang. Jangankan kenaikan biaya, tidak turun saja akan terasa begitu berat. Selain biaya sekolah pada umumnya, biaya untuk pembelajaran dari rumah (jika ada) akan bertambah. Belum lagi biaya kesehatan untuk melakukan tes kesehatan (bila ditanggung sendiri). Padahal cara-cara baru ini juga belum teruji apakah lebih efektif atau bahkan sebaliknya dibanding cara bersekolah selama ini. Oleh karena itu, apabila sekolah benar-benar ingin kembali mereaktivasi kegiatannya, sangat penting untuk mengadakan pertemuan dan berembuk dengan para stakeholder khususnya para wali murid untuk menghindari gejolak di kemudian hari.
Dari dua pilihan yang diuraikan di atas, baik melanjutkan pendidikan dari rumah maupun kembali ke sekolah sama-sama memiliki untung dan ruginya masing-masing. Tidak ada satu metode yang 100 persen lebih baik dari yang lain, semua akan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing untuk mencari metode yang cocok. Mungkin saja justru yang cocok adalah kombinasi dari semuanya sehingga terjadi pembagian beban dan peran yang lebih seimbang agar beban tidak bertumpu pada salah satu pihak saja. Selamat hari raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin đŸ˜€ .
Pingback: Pendidikan Se(te)la(h) Pandemi – K-JAM