Sumber Gambar di Sini
Di tengah situasi pandemi atau perang, kabar duka mungkin bukan sesuatu yang asing lagi. Mulai orang di belahan dunia lain sampai yang begitu dekat dengan kita, bahkan mungkin diri kita sendiri, sama-sama bisa mengalaminya. Namun membaca berita ini tetap saja membuat ada rasa gimanaaaaaa gitu. “Kematian akibat orang lain tidak jujur” terdengar begitu menyedihkan. Jauh lebih menyedihkan lagi ketika korban tersebut adalah orang yang ada di sekitar kita atau bahkan kita kenal. Salah dua hal yang perlu diperhatikan dari kejadian ini adalah Masalah Risiko Pekerjaan dan masalah Kejujuran.
Yang pertama terkait risiko pekerjaan. Tidak sedikit saya mendengar atau membaca komentar saat ada tenaga medis menjadi korban dengan bernada, “Ya itu kan memang risiko pekerjaan.”. Ini menunjukkan bahwa memang sebagian dari kita perlu ikut kursus kilat empati atau tutorial cara cepat memahami pekerjaan orang lain. Dude, please deh, bedakan risiko pekerjaan dengan risiko akibat perbuatan bodoh. Kalau sudah berupaya maksimal sesuai prosedur dan masih tertular mungkin masih bisa kita katakan risiko pekerjaan, namun kalau tertular akibat perbuatan tidak jujur orang lain tentunya perlu dilakukan FGD (Focus Group Discussion) ulang tentang pemaknaan risiko pekerjaan. Apakah sebagai seorang atlit catur misalnya, dikepruk papan catur oleh lawan yang tidak terima bisa dikatakan sebagai risiko pekerjaan? Atau seorang dokter dipukul pasien yang tidak terima karena diberitahu mengenai penyakitnya bisa dikatakan sebagai risiko pekerjaan? tentu TIDAK! Itu semua kriminal, bukan risiko pekerjaan. Entah penganiayaan, penipuan, dst yang jelas itu adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Kembali ke masalah kejujuran, hal yang selama ini disepelekan bisa menjadi penting kalau ini sudah menyangkut keselamatan orang. Banyak sekali kerugian bahkan kematian yang bisa terjadi berawal dari sebuah perilaku tidak jujur, baik itu menimpa diri sendiri atau yang lebih gawat, orang lain. Dokter bisa celaka bila pasiennya tidak jujur, pembalap bisa celaka karena mekaniknya tidak jujur, pemanjat tower bisa celaka karena yang bertanggung jawab terhadap tower tidak jujur, termasuk programmer pun bisa celaka dan menjadi sasaran kambing hitam empuk apabila kliennya tidak jujur.
Terus terang membaca berita di atas cukup menimbulkan pertanyaan. Kalau berita itu memang benar, pertanyaannya adalah mengapa ada orang yang datang ke dokter atau rumah sakit kalau dia tidak jujur? Pengobatan seperti apa yang diharapkan akan diberikan atas keterangannya sendiri yang tidak benar? bukankah salah-salah justru bisa membahayakan nyawanya sendiri? topik ini sepertinya layak untuk ditelaah oleh para pencari informasi yang lebih kompeten, termasuk apakah kebohongan yang dilakukan memang disengaja atau karena tidak paham. Kalau pertanyaannya merupakan sesuatu yang awam seperti apakah pernah bepergian ke luar kota memang seharusnya bisa dijawab dengan mudah. Namun tidak semua pasien ketika diberi pertanyaan bisa menjelaskan dengan lancar kondisi kesehatannya, apalagi menggunakan istilah-istilah medis yang tidak awam, karena itulah perlu dilakukan diagnosa melalui wawancara dengan pasien untuk kemudian jawaban-jawaban awam tersebut diarahkan pada sebuah kesimpulan, dan bila belum cukup dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lanjut menggunakan alat-alat dan/atau laboratorium.
Memang hidup ini tidak 100 persen kiri notok atau kanan njedog. Memang sulit sekali mencari manusia yang jujur 100 persen dalam hidupnya (Termasuk saya sendiri tentunya :P), sama seperti mencari orang yang 100 persen patuh pada aturan. Tapi mbok yao kalau mau melanggar aturan itu dilihat dan dipikir dulu dampaknya. Kalau kebohongannya tidak membahayakan orang lain tapi hanya merugikan diri sendiri (misal berbohong kalau suka warna merah karena gebetan juga suka warna merah) ya risiko tanggung penumpang. Tapi kalau jelas-jelas akibat kebohongan atau melanggar aturan (Batas kecepatan misalnya) itu bisa membahayakan orang lain, mbok dipikir 13 kali dulu. Korban sudah banyak, janganlah menambah korban karena hal yang sepele seperti berbohong. Sungguh kejujuran memang mahal, tapi tetap tidak ada yang pantas ditukar dengan nyawa, bahkan untuk membeli sebuah kejujuran sekalipun.
Akhir kata, saat Thanos menyerang Avengerslah pahlawannya, maka pada saat pandemi ini para tenaga medislah pahlawannya. Bahkan untuk membayangkan seberapa besar tekanan yang saat ini mereka hadapi saja terasa sangat sulit. Semoga masih semangat selalu dan tidak patah semangat……..
Tulisan yg sangat menyentuh Mas Mardi. 🙂
Terima kasih.
Terima kasih 😀