Di usia yang belum juga remaja sejak terakhir meninggalkan sekolah, sudah ada puluhan pemakaman yang saya hadiri. Mulai dari keluarga, sahabat, teman, sampai orang yang hanya kenal satu arah (saya kenal dia, dia tidak kenal saya). Bukan sekedar melawat, biasanya kalau jenazahnya masih ada saya akan berusaha mengikuti sampai proses pemakamannya. Salah satu aktivitas dalam serangkaian proses pemakaman ini adalah mengangkat keranda jenazah.
Mengangkat keranda ini macam-macam, mulai sekedar dari rumah duka ke kendaraan, rumah duka ke masjid/langgar/musholla, atau sampai ke makam (kalau makamnya masih masuk akal ditempuh berjalan kaki). Kalau tidak sedang uzur, biasanya saya ikut mengangkat keranda ini. Mengangkat keranda ini juga berbeda-beda, ada yang begitu mudah karena sedikit peminatnya, ada yang sampai harus berebut karena begitu banyak orang yang ingin mengangkatnya. Selain mau nampang panggilan hati, ada juga rasa penasaran ingin membuktikan mitos bahwa jika jenazah ini orangnya baik maka kerandanya akan terasa ringan dan sebaliknya. Apakah mitos itu benar? Saya rasa tidak perlu dijawab :D.
Biasanya, diantara sekian pentakziah selalu ada saja yang sempat bercanda dengan melontarkan pertanyaan bernada sejenis “kapan kamu menyusul?”. Ini pertanyaan yang jelas tidak bisa dijawab. Namun pertanyaan yang lebih relevan seringkali akan mengikuti, “sudah siap?” dan kalau ada yang menjawab “sudah” tentu akan segera disusul dengan pertanyaan “sudah mempersiapkan apa saja?”.
Sahabat (lho kok jadi kayak majalah remaja gini :p), sudah sejak zaman tablet masih berupa kepingan batu dan sejak cinta masih sesederhana sebuah pengorbanan orang-orang telah membicarakan tentang kematian. Memento mori, ingatlah mati, jargon orang jaman dahulu. Melintasi batas-batas agama, ruang, dan waktu, kematian selalu menjadi topik menarik untuk diperbincangkan. Mungkin memang sudah sifat alami manusia untuk tertarik (atau takut?) dengan hal-hal yang tidak diketahuinya. Karena kematian sampai sekarang adalah hal yang belum bisa diselidiki. Kita bisa mengirim robot ke planet lain, tapi tidak bisa mengirim robot ke alam kematian, jangankan teknologi, konsep dan “lokasi”-nya saja berbeda beda tergantung keyakinan masing-masing.
Saya selalu gemetar kalau pertanyaan iseng itu kemudian diarahkan ke saya. Meskipun saya tahu bahwa saya harus menjawabnya sekalipun tidak ada orang yang bertanya, namun tetap saja sensasinya ketika ditanya itu daya kejutnya lebih besar :p. Bagi saya, indikator kesiapan orang untuk meninggalkan dunia yang fana ini bisa dilihat setelah dia merealisasikan kematiannya. Ada dua hal yang bisa menunjukkan kesiapannya, keberhasilannya sebagai manusia, dan keberhasilannya sebagai hamba Tuhan.
Keberhasilannya sebagai manusia relatif lebih mudah dilihat. Berapa banyak orang yang tidak punya kewajiban untuk melayat (tau lah maksudnya apa :p) yang tetap datang melayat. Kalau muslim berapa banyak yang ikut mensholatkan jenazahnya. Berapa banyak yang ikut mengantarkannya ke liang lahat. Berapa banyak yang ikut mendoakannya. Bagi yang menganut budaya tahlilan berapa banyak yang datang tahlilan (yang tidak punya kewajiban). Dan parameter-parameter lain yang semuanya berpulang pada satu titik, bahwa orang lain merasa hidupnya berbeda tanpa dia. Bahasa romantisnya, seberapa orang lain kehilangan dirinya. Adapun keberhasilan sebagai hamba Tuhan, saya akan sangat terkejut kalau ada manusia yang bisa menilai kualitas ibadah orang lain 😀
Jangankan kualitas di hadapan Allah SWT, keberhasilan sebagai manusia pun masih jauh dari pandangan. Saya teringat kakak kelas saya, meninggal di usia yang muda, namun sampai saat ini pun, orang masih tidak berhenti membicarakannya. Sungguh orang yang luar biasa, sengaja saya ambil contoh beliau karena kalau ambil contoh yang lain niscaya makin jauh pula jaraknya :p. Sedangkan saya, setiap kali ikut mengangkat keranda, saya selalu berpikir, adakah orang yang saya kenal nanti mau ikut mengangkat keranda saya? Setelah begitu banyak hati yang saya singgung dan sakiti. Sungguh kematian adalah pengingat yang baik ………….. Semoga kita tidak telat tobat.