Disclaimer: kisah ini fiktif belaka, kesamaan nama, tempat, dan kejadian hanya imajinasi anda saja 😀
Disclaimer 2: sebagian besar dialog adalah dialog suroboyoan yang sudah diterjemahkan secara serampangan 😀
“Selamat malam, ada tambahan apa lagi?”, suara ramah kasir itu memecah lamunanku. Orang di depanku yang belanja segudang rupanya sudah selesai. Kuserahkan kue kering gandum favoritku, membayar, dan beranjak pulang, tidak sebanding dengan antri yang begitu lama. “Terima kasih, datang kembali”, ujar kasir bernama Rina itu. Meskipun itu playback standar, karena diucapkan dengan senyum yang (semoga) tulus, tetap terdengar renyah di telinga. Naik ke jok motor, nyalakan mesin, dan pritttttt, tiba-tiba ada jukir yang datang mendekat. Dengan gondok aku bayar juga itu parkir, waktu datang tadi ke mana aja ini orang, giliran pergi enak aja prat prit prat prit.
Aku memang sering mampir ke supermarket itu sepulang kantor. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya rute perjalanan pulangku sesuai petunjuk Djikstra tidak melewati toko yang lumayan besar itu, ada penyimpangan sekitar 1 kilometer dari ruteku yang seharusnya. Semoga Tuhan mengampuniku karena mendzolimi kantor yang mengganti setiap bon bensinku, tapi aku benar-benar tidak bermaksud korupsi, aku tidak mengada-ada, memang rute inilah yang kupilih meskipun tidak sesuai dengan petunjuk yang terbaik. Dan kalau dipikir-pikir lagi, kue gandum yang kubeli itu ada banyak di toko lain di rute pulangku yang sesuai khittahnya.
Supermarket itu terletak di sebuah jalan besar. Sebelum dia berdiri, ada bermacam-macam usaha lain di sana mulai factory outlet, rumah makan, dan cafe. Semua usaha di sana sebelumnya gulung tikar dalam tempo kurang dari satu tahun, waktu yang umumnya dijanjikan oleh sales money game untuk bisa sukses. Namun supermarket ini beda, saat aku mulai ke sana, sudah hampir 3 semester dia beraktivitas, satu semester lagi dia akan wisuda magister, mendahuluiku yang bahkan mendaftar saja belum. Kalau usaha lain di sana sudah menunjukkan PDKT menuju pailit beberapa bulan sebelumnya, justru yang satu ini malah tidak pernah terlihat sepi, yang paling terlihat sibuk adalah satpam yang benar benar bekerja membantu parkir mobil dengan gratis, dan jukir liar yang menarik parkir sepeda motor.
Suasana di dalamnya khas supermarket, sejuk berkat AC. Yang membuatku betah ke sini adalah lagu-lagu yang diputar. Selama kemari, belum ada lagu yang diputar yang tidak kukenal, aku sering penasaran ingin ketemu DJ nya karena selera kita nampaknya cocok sekali. Meskipun hanya beli kue gandum, kaki ini sering melangkah menjelajah banyaknya lorong, sekadar melihat-lihat dan mengusir penatnya jiwa. Mereka punya 5 meja kasir yang selalu sekurang-kurangnya 3 meja dibuka, tidak jarang kelima-limanya buka. Kalau sudah jam 21.00, biasanya hanya sisa 2 kasir yang buka. Faktor ini juga yang membuatku merasa supermarket ini benar-benar efisien dan tidak memberi harapan palsu seperti saingannya yang punya 20 meja kasir tapi kebanyakan hanya aktif seperempatnya.
Tidak terasa, sudah 3 bulan rutinitas ini berjalan. Aku semakin hafal, bukan kenal, dengan orang-orang di dalamnya. Rival, si jagal ikan yang sering memberi wejangan sambil memotong-motong ikan. Dimas, yang menjaga timbangan buah dan memotong-motong buah. Deni yang mengurusi sayur dan buah, dia juga yang sering berlempar kata dengan Dimas kalau sudah menjelang tutup. Deni suka sekali bercanda soal tubuh Dimas yang agak Tambun. Kemudian ada Rico, sang penjaga daging, tidak pernah banyak bicara, kalau memotongkan daging sering lebih, sayang timbangannya tidak sebaik dia, akhirnya tetap saja bayarnya lebih. Terakhir ada Anton, yang sepertinya atasan mereka semua karena tidak memakai seragam. Orangnya jarang muncul, tidak banyak bicara, tapi sangat teliti. Dan oh iya, ada juga barisan wanita kasirnya yang menurutku cantik-cantik.
Yang pertama ada Rina yang kusebut di awal tadi, orangnya berjilbab, berkacamata, ramah dan suka memberikan senyum bagi para pelanggannya, dia selalu menggunakan bros gambar mini mouse atau daisy duck untuk merekatkan jilbabnya. Lalu ada Riska, yang terlihat paling tua di antara mereka karena yang lain memanggilnya “mbak”, sepertinya rumahnya dekat denganku karena aku sering melihatnya di daerah sekitar rumahku, kalau bicara suaranya paling keras dibanding teman-temannya yang lain. Kalau yang bernama Tika, dari belakang posturnya sangat mirip Rina, sama-sama berjilbab, berkacamata, dan ramah, lesung pipit di wajahnya menambah sejuk mata setiap kali dia tersenyum, dia selalu memakai pelapis lengan berwarna biru muda dan yang paling khas dari dia adalah suaranya. Kemudian Lisa, ini yang paling kuhindari kalau belanja, orangnya judes, pelit bicara apalagi senyum, kalau melayani selalu menunduk melihat mesin kasirnya, hanya sesekali wajahnya terangkat ke arah pelanggan, sangat disayangkan, padahal dibandingkan dengan yang lain wajahnya menurutku paling cantik. Yang terakhir adalah Esty, posturnya mungil, berjilbab, tidak banyak bicara, tapi murah senyum, dia lebih sering keliling memeriksa barang daripada menjaga kasir.
Suatu malam, seperti biasa aku membeli kue gandum favoritku, langsung aku menuju meja kasir Rina. “Kue gandum ini saja mas?” tanyanya yang kubalas dengan anggukan. Saat dia menoleh mengambil kantong plastik, aku tidak sengaja melihat rambutnya menjuntai dari bawah jilbabnya. Setelah membayar aku bilang ke dia, “Mbak Rina, maaf, tapi rambutnya yang di belakang keluar.” Dengan agak gugup dia memasukkan rambutnya. Sewaktu menaruh keranjang ke tempatnya tidak jauh dari situ, “Mas,” aku menoleh, ternyata Rina yang memanggilku. “Terima kasih ya,” lanjutnya sambil tersenyum, maniiiis sekali, akupun mengangguk dan membalas senyumannya.
Dua hari kemudian waktu aku ke sana jam 21 lebih, kasir yang buka tinggal satu yang dijaga Rina, yang lain sibuk beres beres. Ada yang berbeda, wajahnya tidak tersenyum seperti biasanya, mungkin dia lelah. Saat membayar, aku sepertinya orang terakhir yang berbelanja di sana, rolling door di depan juga sudah diturunkan, hanya tersisa satu bagian yang tepat menutupi pintu masuk. “Tumben kue gandumnya dua mas?” tanyanya iseng, masih tidak tersenyum. Aku dorong satu kue gandum itu ke arahnya, “Buat sampeyan Mbak,” ujarku pelan. “Tidak usah mas, untuk apa?” dia menolak. “Tidak apa-apa, mungkin sampeyan mau coba,” dia tampak mau menolak lagi, tapi aku buru buru meninggalkan meja kasir itu. “Mas,” lagi-lagi dia memanggilku saat mengembalikan keranjang. “Terima kasih ya,” katanya dengan sedikit tersenyum, aku mengangguk dan segera keluar, lega karena entah kenapa.
Besok malamnya, kasir yang buka hanya 2, Riska dan Lisa, sedangkan antrinya lumayan panjang, ada sekitar 5 orang di setiap meja. Aku melihat sekeliling sambil berdiri di dekat meja kasir yang tutup, sepertinya Rina tidak ada. “Mau beli kue gandum aja Mas? Mari ke sini”, ternyata itu suara Tika, dia melepaskan rantai yang menutupi lorong kasir tersebut, memproses dan menerima pembayaran kue gandumku, dan kemudian kembali memasang rantai penutup lagi. Aku tidak menyangka dia baik sekali, “Terima kasih banyak Mbak Tika,” kataku tersenyum lebar. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian mengambil kardus yang tadi dibawanya dan kembali membereskan barang-barang. Aku pulang dengan senang, aku benar-benar tidak menyesal berlangganan di toko dengan pelayanan sebaik ini.
Kira-kira seminggu setelahnya, aku baru sampai di sana jam 10 kurang lima menit. Gara-gara lembur aku tidak bisa pulang dari kantor tepat waktu. Setelah menaruh sepeda motor, aku bergegas ke pintu depan dan….. Sudah tutup. Rolling door terakhir memang belum diturunkan, tapi tulisan “TUTUP” terpampang dengan jelas di pintu kaca itu. Dengan kecewa aku duduk di emperan toko itu dan mengeluarkan handphone. Aku melihat satu demi satu pegawai supermarket itu keluar lewat pintu samping. Kemudian aku melihat Tika, dia sempat menoleh ke arahku, melambaikan tangan, lalu menuju tempat parkir. Karena aku tidak tahu dia melambaikan tangan ke siapa, aku diam saja, mungkin dia melambaikan tangan ke temannya di balik pintu kaca di belakangku.
“Kok jam segini baru ke sini mas?” tiba-tiba dari belakang suara yang akrab di telinga memanggil. Rupanya Rina baru saja keluar dari dalam toko, dia memakai jaket dan menggendong tas ransel di punggungnya. Kemudian dia duduk kira-kira satu langkah di sampingku. “Mau beli kue gandum?”, tanyanya, aku mengangguk. Dia merogoh ke dalam jaketnya, kemudian mengeluarkan sebungkus berisi dua potong kue gandum yang biasa kubeli. Dibukanya bungkusan itu, diambilnya satu, kemudian dioperkannya padaku. “Lho, suka juga toh?” tanyaku. Dia menggeleng, “Enggak, ini baru pertama kali makan.” “Lho, berarti….” dia mengangguk. “Kenapa baru dimakan sekarang?” tanyaku penasaran. “Aku memang mau nawarin kamu, tapi tak tunggu kamu nggak ke sini ke sini,” katanya pelan. “aku memang cuma bisa ke sini malem, maklum jongos,” dia tersenyum. Kuulurkan tanganku, “Arif, Arif Kurniawan.” “Carina, Carina Sapta,” dia membalas. Selama ini aku hanya tahu nama Rina dari tanda pengenalnya, ternyata nama aslinya sangat indah.
“Ya sudah Mas, saya pulang duluan ya,” dia bangkit dari duduknya. “Lho naik apa?”, tanyaku. “Jalan kaki, rumah saya dekat kok,” jawabnya. Aku juga berdiri, Lalu berjalan menujut tempat parkir motor. “Mas”, lagi-lagi dia memanggil. “Terima kasih ya,” sambil tersenyum tipis. Aku mengangguk dan membalas senyumnya, kemudian menyalakan motor dan bersiap siap pulang ketika…. Pritttttt, lagi-lagi jukir satu ini muncul lagi dan menagih parkir. Sepanjang perjalanan perasaanku seperti senang, aku tidak pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya (entah kenapa kalimat ini terdengar seperti yang sering diucapkan para playboy di kampusku dulu). Dan kalau saja aku tahu, aku akan sangat menyesali kebodohanku waktu itu.
(Bersambung)
Pingback: Aku, Kau, dan Kue Gandum (2) | emaerdei