Umar Bin Khattab RA, sosok yang sangat dikenal di kalangan umat islam maupun non muslim di zamannya. Ketika Abu Bakar RA menjadi khalifah, beliau menegurnya karena mencoba membujuk kekerasan pendirian sang khalifah terhadap mereka yang menolak membayar zakat. Ketika dia hendak ditunjuk sebagai khalifah berikutnya, orang-orang mengkhawatirkan sifatnya yang dianggap keras. Namun dia berhasil menepis semua anggapan tersebut, dia memang tetap keras pada mereka yang menindas yang lemah, namun sangat lembut kepada mereka yang lemah. Perjalanan kepemimpinannya sebagai penyandang pertama gelar Amirul Mukminin dapat diikuti di buku seri ketiga karangan Tasaro GK ini, Sang Pewaris Hujan.
Buku ini seperti sebelum-sebelumnya, mengisahkan kisah-kisah yang sudah umum kita dengar dari pelajaran sekolah maupun cerita guru mengaji di TPQ, namun dengan sudut pandang dan bahasa yang menurut saya lebih menarik dan manusiawi. Menggambarkan bahwa in the end, sang penakluk, yang telah meluaskan wilayah Islam demikian luas, tetaplah seorang manusia. Perasaannya tergambar begitu halus, jauh dari sosok yang mungkin dibayangkan dari orang yang memimpin “negara” yang membentang dari mesir sampai persia.
Ketika dia tanpa pikir panjang membantu persalinan istri seorang rakyatnya bersama istrinya sendiri. Ketika dia menangis kepada Abu Ubaidah bin Jarrah, “curcol” tentang orang-orang yang telah berubah. Ketika dia tidak malu memohon bantuan, padahal dia bisa memerintahkan, kepada para gubernurnya saat Madinah dilanda kemarau panjang. Nyaris tidak tersisa kegarangannya yang sempat membuat takut umat islam maupun orang-orang non muslim terdahulu.
Namun, kisah tentang Umar kali ini yang paling menarik adalah di penghujung hidupnya. Di akhir hayatnya, sekarat di pembaringan, yang ia khawatirkan adalah bagaimana ketika kelak dia dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Bagaimana dia begitu serius menanggapi kesaksian Abdullah bin Abbas RA dan Ali bin Abu Thalib RA tentang kepemimpinannya, bagaimana dia lega ketika mengetahui bukan kaum Anshar atau Muhajirin yang ingin membunuhnya, sungguh pemimpin yang luar biasa.
Seperti buku terdahulu, selain mengisahkan perkembangan kekhalifahan Islam, buku ini kembali mengikuti perjalanan Kashva dan temannya, Elyas. Kekaguman Kashva ketika menyaksikan kesederhanaan sang Khalifah penerus Sang Lelaki Penggenggam Hujan di Yerusalem mengantarkannya ke Madinah. Dari Madinah petualangannya kembali dimulai, mengikuti entah apa yang dipersiapkan nasib baginya.
Astu dan Vakshur juga kembali ambil peran di buku ini. Setelah menyelesaikan perannya sebagai Atusa, sang panglima pasukan immortal, Astu kembali memulai hidupnya dari awal. Menggunakan semua keahlian perang dan berkudanya, dia membuka jasa ekspedisi, usaha yang kemudian akan memberikan banyak pencerahan padanya, usaha yang mempertemukannya dengan Vakshur dan menyalakan cahaya harapan di hatinya pada Kashva.
Bagian paling tidak menyenangkan dari buku ini menurut Saya adalah ending-nya. Tidak seperti dua buku terdahulu yang meskipun jelas ceritanya belum selesai tetapi ditutup dengan tenang, buku ke-tiga ini ditutup dengan sangat menggantung. Baik dari cerita di sisi Kashva cs maupun cerita di sisi kekhalifahan.
Kisah kekhalifahan ditutup dengan suksesi dari Umar bin Khattab RA kepada Usman bin Affan RA yang meninggalkan bibit perselisihan. Bibit-bibit yang cukup berani disorot dan dikupas oleh penulis buku ini, tetapi pembaca harus menunggu buku ke-4 atau menghubungi ulama terdekat untuk bisa mengetahui lanjutannya. Adapun kisah Kashva cs ditutup dengan tidak kalah menggantungnya, sebuah upaya pencarian yang tidak disertai petunjuk yang jelas.
Kesimpulan saya masih tetap, buku ini sangat menarik dan tidak membuat bosan. Hikmah yang bisa diambil tentunya seperti kebanyakan kisah teladan, adalah keteladanan. Bagaimana seorang pemimpin seharusnya memberikan keteladanan, mengajak berjuang bersama alih-alih memaksa orang berjuang untuknya. Dan satu lagi pelajaran penting, bahwa mereka-mereka yang begitu dekat dengan Rasulullah SAW, mereka yang ilmu agamanya tidak perlu diragukan lagi, mereka yang sudah menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa Ibu, dan mereka yang jauh dari motif-motif duniawi, ternyata juga bisa berbeda pendapat dalam penafsiran. Meskipun begitu, mereka melakukannya dengan adab yang baik dan niat yang baik, sungguh luar biasa 🙂
Pingback: Generasi Penggema Hujan, Sebuah Review | emaerdei
Pingback: Generasi Penggema Hujan, Sebuah Review - BamboeRoentjing.com